Kejayaan Bangsa Pengungsi Berjulukan Romawi
Ada suatu pemukiman kecil di sisi sungai Tiber yang subur namun penuh dengan nyamuk. jumlah penduduknya tidak besar dan kebanyakan berprofesi sebagai peternak atau peladang tradisional. hanya ada 2 hal yang mereka khawatirkan yakni serbuan orang barbar dari utara dan cuaca jelek yang mengganggu hasil panen. sekilas kampung berjulukan Roma tidak terlihat sebagai daerah berdirinya sebuah bangsa yang mempunyai masa depan yang luar biasa.
Perbedaannya semakin konkret apabila dibandingkan dengan peradaban lain di sekitaran maritim Mediterania. Kerajaan Mesir dan Persia sudah menikmati kebudayaan tinggi dan kompleks selama ribuan tahun dan menjadi superpower dunia kuno. tetangganya Yunani juga sudah berkembang pesat dengan aliran ibarat demokrasi atau karya sastra sekelas Iliad. pada ketika itu Romawi hanya bisa menjadi pengekor kerajaan yang lebih maju.
Ketika "300" Sparta bertahan dari serangan Persia di masa ke 5 BC, penduduk Roma masih sibuk melaksanakan perang antar petani dengan rebutan sapi sebagai hadiah. ketika Alexander the great berhasil mengalahkan Persia yang membawa pasukan nyaris 10x lebih besar darinya kemudian melaksanakan perluasan hingga ke India di masa ke 4 BC, kota Roma justru dihancurkan oleh invasi suku barbar yang masih dianggap primitif.
Bisa dikatakan Romawi bukan siapa-siapa pada waktu itu. jangankan meraih kegemilangan besar ibarat raja Macedonia, sekedar melindungi diri melawan suku barbar saja tidak sanggup. tapi uniknya hanya dalam waktu 100 tahun Romawi bermetamorfosis menjadi superpower yang tiada bandingannya. potensi perkembangan dan kekuatan Romawi di segala bidang tampak tidak terbatas dan gres meredup ribuan tahun setelahnya.
Lho kok bisa? bagaimana sebuah komunitas petani dan peternak yang bodoh bisa tiba-tiba melompat menjadi sebuah kekuatan superpower?
Jawabnya akan terdengar sangat sederhana, yakni kewarganegaraan yang juga diberikan kepada bangsa abnormal yang menginginkannya.
Sejak awal berdirinya kota Roma psikis penduduknya sudah berbeda dengan bangsa lain di sekitarnya. apabila peradaban lain cenderung mengakui diri mereka sebagai pribumi atau penduduk orisinil dari suatu wilayah semenjak diciptakan oleh dewa-dewa ribuan tahun lalu, orang Romawi tidak mempunyai klaim atau pandangan yang sama mengenai asal usulnya dan wilayah yang ditempatinya.
Dalam mitologi Romulus dan Remus yang menjadi pendiri kota Roma dikisahkan sebagai bawah umur terbuang. hal yang sama terjadi pada klaim asal usul yang lebih romantis bahwa Romawi berasal dari garis keturunan penduduk kota Troya yang melarikan diri sesudah kalah perang melawan Yunani. masyarakat Roma mempercayai bahwa mereka berasal dari kaum terbuang, pelarian atau pengungsi yang mencoba bertahan hidup di daerah asing.
Karena itu walaupun pada awalnya Romawi mengikuti corak yunani dengan model kerajaan, tetapi kemudian secara natural mengubah diri dengan pemerintahan republik. mereka merasa pede dengan perbedaan yang mereka miliki dan menyadari betul bahwa nenek moyangnya yaitu kaum terbuang sehingga Roma membuka diri terhadap semua orang yang bernasib sama yang hendak mencari daerah proteksi dan membuka lembaran hidup baru.
Tidak ibarat bangsa lainnya dimana kewarganegaraan yaitu hal yang hampir sakral dan hanya didapatkan dari keturunan atau kelahiran, Romawi menunjukkan status warga negara kepada semua orang yang menginginkannya dengan syarat yang lunak. mereka tidak takut terhadap loyalitas mendua, bagi Romawi kesamaan kepentingan dan tujuan jauh lebih menjamin daripada kesetiaan hanya sebab faktor keturunan pribumi semata.
Semua warga romawi apapun asal usulnya dan daerah kelahirannya berhak mendapatkan proteksi hukum, sistem peradilan terbuka, kesempatan perjuangan dan hak berpolitik. bahkan kepada tahanan sekalipun seorang warga Roma dijamin tidak akan mendapatkan kekerasan, siksaan, sanksi ataupun penahanan sebelum menjalani peradilan. hal ini cukup revolusioner apabila dibandingkan dengan aturan kerajaan dimana rakyat dianggap sebagai objek milik penguasa.
Kebaikan di atas hanya perlu dibayar dengan menjadi warga yang patuh aturan dan sebuah janji. "ketika Republik diserang, anda mau membantu untuk mempertahankannya."
Begitu banyak benefit dan murahnya "harga" yang ditawarkan menciptakan banyak masyarakat yang terusir dari daerah asalnya berakhir di Roma. bukan hanya masyarakat kelas bawah tetapi termasuk juga kaum cendikiawan dan bekas aristokrat yang dimusuhi di daerah asalnya. keberadaan mereka menciptakan Roma bisa mengejar banyak ketertinggalan di sektor pendidikan, seni dan sastra.
Sedangkan kaum pekerja baik andal ataupun tidak akan berkontribusi pada sektor ekonomi, hiburan serta pelayanan masyarakat. kemudian generasi muda akan mendapatkan latihan militer sebagai cuilan dari pendidikan sebagai persiapan untuk mempertahankan diri dari serangan bangsa lain. kebijakan buka pintu yang mereka lakukan begitu menguatkan Romawi hingga fondasi sebuah peradaban besar bisa selesai dalam waktu singkat.
Kebijakan yang sama juga kuat pada corak peperangan yang mereka lakukan. kembali ke ilustrasi petani, apabila dahulu mereka berperang setiap trend panen yang kekurangan untuk rebutan panen dan sapi tetangganya. kini tidak hanya gontok-gontokan kemudian selesai bawa lari sapi tetapi setelahnya mereka akan mengajak tetangganya untuk bergabung bersama mereka.
"Gimana jikalau situ ikut jadi Romawi saja? jadi kita tidak usah perang tiap tahun gtu lho. tahun depan kita perang melawan si bergairah dari kampung sebelah sungai saja, sapi nya gemuk-gemuk.."
Kewarganegaraan Romawi juga diberikan kepada bekas musuh-musuhnya. tentu ada syaratnya yakni dengan merampungkan dinas militer terlebih dahulu barulah mendapatkan kewarganegaraan baik setengah atau penuh. tetapi hal yang sepertinya kecil ini akan membawa imbas yang sangat besar.
Pada umumnya bangsa yang kalah perang akan diperlakukan sebagai sapi perah yang dijajah di tanah kelahirannya sendiri. hal ini menciptakan risiko pemberontakan selalu tinggi, ketika penguasa lemah maka bangsa yang dijajah akan merebut kekuasaan kemudian memerdekakan diri. ini yaitu siklus berdiri dan tenggelamnya kerajaan atau bangsa semenjak jaman prasejarah.
Romawi memutus mata rantai tersebut dengan memanjangkan tangannya kepada pihak yang dikalahkan dalam perang. asalkan bukan lawan politis, tidak berstatus budak atau bermasalah secara aturan maka mereka berkesempatan untuk menjadi warga negara Romawi. hal ini menciptakan populasi yang dikalahkan tidak akan sibuk berkomplot untuk memberontak sebab diperlakukan sederajat dan bisa memulai lembaran gres dalam hidup.
Pada kebanyakan perkara masyarakat kelas bawah bekas kerajaan yang dikalahkan justru mempunyai kesempatan hidup yang lebih baik di bawah pemerintahan republik. sebab itu banyak yang melupakan loyalitasnya terhadap kerajaan lama. hal ini menciptakan aristokrat kerajaan usang yang berniat memberontak impoten sebab tidak mempunyai dukungan masyarakat luas yang bisa digerakkan untuk melaksanakan perebutan kekuasaan.
Bagi Romawi bukan hanya soal keamanan dari pemberontakan yang menciptakan perkembangannya semakin optimal, perpanjangan tangan terhadap mantan lawan juga sangat menguntungkan dari sisi militer. setiap suku yang mendapatkan permintaan Romawi akan mengirimkan generasi muda mereka untuk menjalani dinas militer. sebab itu sesudah perang Romawi justru mempunyai lebih banyak prajurit yang bisa digerakkan dalam kampanye militer.
Berbeda dengan kerajaan lain dimana prajurit haruslah suku orisinil bangsanya, romawi mengambil prajurit dari setiap suku yang menjadi warga negara, baik itu suku orisinil Roma ataupun suku abnormal yang gres saja dikalahkan dalam perang. dengan pembinaan menjadi Legiuner generasi muda mantan lawan akan terbiasa dengan budaya, cara hidup dan aliran Romawi sehingga semakin mantap menjadi warga negara republik yang loyal dan bisa diandalkan.
Sekali menang menciptakan populasi dan militernya bertambah. 100x menang maka kelipatannya hampir 100x juga. ini yaitu sulap ala Romawi. asalkan bisa terus menerus menang maka Romawi terus bertambah kuat dan besar.
Lalu apa rahasianya hingga Romawi bisa terus menerus menang?
Well... sebenarnya romawi cukup banyak menderita kekalahan. untuk soal ini Republik dan gaya militernya yang bukan kasta kesatria tetapi mengandalkan pada citizen soldier terbukti menjadi senjata makan tuan sebab terlalu idealis. faktanya mereka yang sehari-hari bekerja sebagai petani atau filusuf ketika diperlukan menjadi prajurit dan jendral dalam perang hasilnya bisa fatal.
Ditambah lagi dengan kebijakan pergantian konsul yang juga pemimpin militer disertai dengan perekrutan prajurit untuk dinas militer gres menciptakan keahlian tempur mereka selalu dalam kondisi tidak optimal. terlatih ya, tetapi jarang berpengalaman. legiun gres mengandalkan pada para veteran yang secara sukarela mengambil masa dinas lagi tetapi jumlahnya tidak besar sebab di era republik prajurit karier masih belum berkembang.
Kemampuan Romawi yang bisa dibilang payah itu terus menerus menjadi mangsa pasukan yang berjumlah lebih kecil dan lebih jelek perlengkapannya tetapi mempunyai pengalaman tempur dan kepemimpinan militer yang prima. ibarat pada Perang Punic 2 Romawi begitu putus asa sebab jumlah dan kualitas militer mereka yang superior ternyata tidak bisa melawan pasukan Hannibal yang berjumlah lebih kecil dari mereka.
Tetapi ada hal yang tidak dimiliki oleh bangsa lainnya yang pada akhirnya menciptakan Romawi unggul. sejarah menuliskan bahwa Romawi di era Republik tidak jaya dengan mengalahkan lawan yang jauh lebih besar darinya ibarat Alexander the Great. Romawi menjadi jaya sebab tidak pernah kehabisan prajurit walaupun terus menerus dikalahkan oleh lawan yang lebih hebat darinya.
Perang melawan Hannibal memakan puluhan ribu demi puluhan ribu pasukan Romawi pada setiap kekalahan. nyaris 100 ribu per tahun warga Romawi menjadi korban dalam perang. sebuah jumlah yang fantastis, kekalahan yang teramat besar bahkan di jaman modern sekalipun. bagi bangsa manapun kekalahan semacam itu hampir niscaya mengambarkan kehancuran sebuah bangsa. tetapi Romawi mengalami 3x kekalahan serupa berturut-turut namun tetap kokoh berdiri.
Setiap kehilangan 100 ribu prajurit warga Roma bisa menghimpun 100 ribu lagi untuk berperang di tahun berikutnya. kemampuan ini yaitu hasil dari kebijakan buka pintu dan kewarganegaraannya yang berjalan dengan sangat baik. kedua hal tersebut mengakibatkan kekuatan SDM Romawi begitu superior sebab tidak hanya mengandalkan pada suku asli, mitra dan sekutu tetapi juga mantan lawan yang menjadi warga negara.
Begitu dahsyat SDM Romawi sehingga pada waktu yang bersamaan dengan kekalahan terbesar mereka, Roma masih bisa menjalankan perang di 3 daerah lainnya melawan kerajaan yang berbeda. militer Romawi bagaikan mesin perang yang terus berdiri dari maut walaupun terus menerus dikalahkan dengan telak. hal ini menciptakan lawan-lawannya kelelahan sebab tidak bisa mengimbangi jumlah lawan yang tampak tidak pernah habis.
Mungkin pernyataan Raja Pyrrus dari Epirus sebelum era Perang Punic ketika Romawi masih kekuatan kecil di Italy paling menggambarkan situasi ini. ketika itu sang raja gres saja menang perang ke 2 melawan Romawi. ada yang mengucapkan selamat dan mendoakan biar ia bisa menang lagi melawan Roma. tetapi Pyrrus justru menjawab, "Kemenangan ibarat ini sekali lagi akan menciptakan kita semua hancur."
Sebutan Pyrric Victory lahir dari bencana tersebut. kemenangan Pyrrus atas Romawi begitu menelan korban jiwa di pihaknya sehingga basis kekuatannya berkurang secara drastis. prajurit terlatih miliknya tidak diciptakan dalam waktu singkat sedangkan Romawi tampak tidak pernah kehabisan penduduk untuk dijadikan prajurit. suatu kemampuan yang fenomenal padahal pada era tersebut Republik Romawi masih dianggap kekuatan kecil yang belum diperhitungkan
Republik menjadi besar sebab membuka diri terhadap pengungsi dan pelarian tetapi lambat laun fakta ini dilupakan oleh mereka. pada masa imperium Romawi semakin menutup diri dan berlaku eksklusif, mendapatkan suku pelarian hanya untuk menimbulkan mereka prajurit tetapi tidak berlaku adil terhadap populasi mereka yang tidak diterima sebagai cuilan dari kependudukan Romawi. ketidakpuasan menjadi tinggi sebab diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.
Pada masa berikutnya kewarganegaraan romawi semakin sulit diperoleh, bahkan beberapa suku besar tidak pernah ditawarkan sebab dianggap terlalu asing. hal ini menciptakan suku-suku tersebut bersatu dengan membentuk konfederasi yang kemudian mengancam imperium Romawi. akhirnya modal kekayaan dan populasi dari jaman republik habis kemudian imperium harus terpecah sebab konflik perbatasan yang menyerap habis sumber daya mereka.
Ironisnya sejarah hampir kembali terulang. pandai balig cukup akal ini eropa, amerika dan negara lainnya cenderung melaksanakan hal yang sama terhadap para pengungsi. padahal dengan menutup pintu, mereka sama saja menolak sumbangan tenaga yang tiba dan justru memberikannya kepada musuh. pengungsi yang ditolak tidak punya lagi tujuan dan karenanya gampang memendam kebencian sehingga gampang diperalat untuk tindakan agresi radikal dan terorisme.
Dalam hal ini mungkin dunia perlu kembali mencar ilmu dari dongeng awal sekumpulan masyarakat pelarian dan pengungsi yang berjulukan Romawi. bagaimana mereka berjaya sebab mendapatkan kaum terbuang, pelarian dan pengungsi dengan tangan terbuka. dan bagaimana mereka hancur sebab menolak.
Romulus dan Remus pendiri kota Roma dalam mitologi bangsa Romawi |
Perbedaannya semakin konkret apabila dibandingkan dengan peradaban lain di sekitaran maritim Mediterania. Kerajaan Mesir dan Persia sudah menikmati kebudayaan tinggi dan kompleks selama ribuan tahun dan menjadi superpower dunia kuno. tetangganya Yunani juga sudah berkembang pesat dengan aliran ibarat demokrasi atau karya sastra sekelas Iliad. pada ketika itu Romawi hanya bisa menjadi pengekor kerajaan yang lebih maju.
Ketika "300" Sparta bertahan dari serangan Persia di masa ke 5 BC, penduduk Roma masih sibuk melaksanakan perang antar petani dengan rebutan sapi sebagai hadiah. ketika Alexander the great berhasil mengalahkan Persia yang membawa pasukan nyaris 10x lebih besar darinya kemudian melaksanakan perluasan hingga ke India di masa ke 4 BC, kota Roma justru dihancurkan oleh invasi suku barbar yang masih dianggap primitif.
Bisa dikatakan Romawi bukan siapa-siapa pada waktu itu. jangankan meraih kegemilangan besar ibarat raja Macedonia, sekedar melindungi diri melawan suku barbar saja tidak sanggup. tapi uniknya hanya dalam waktu 100 tahun Romawi bermetamorfosis menjadi superpower yang tiada bandingannya. potensi perkembangan dan kekuatan Romawi di segala bidang tampak tidak terbatas dan gres meredup ribuan tahun setelahnya.
Romawi di puncak kejayaannya pada masa ke 2 mencakup semua peradaban kuno di belahan bumi eropa |
Lho kok bisa? bagaimana sebuah komunitas petani dan peternak yang bodoh bisa tiba-tiba melompat menjadi sebuah kekuatan superpower?
Jawabnya akan terdengar sangat sederhana, yakni kewarganegaraan yang juga diberikan kepada bangsa abnormal yang menginginkannya.
Sejak awal berdirinya kota Roma psikis penduduknya sudah berbeda dengan bangsa lain di sekitarnya. apabila peradaban lain cenderung mengakui diri mereka sebagai pribumi atau penduduk orisinil dari suatu wilayah semenjak diciptakan oleh dewa-dewa ribuan tahun lalu, orang Romawi tidak mempunyai klaim atau pandangan yang sama mengenai asal usulnya dan wilayah yang ditempatinya.
Dalam mitologi Romulus dan Remus yang menjadi pendiri kota Roma dikisahkan sebagai bawah umur terbuang. hal yang sama terjadi pada klaim asal usul yang lebih romantis bahwa Romawi berasal dari garis keturunan penduduk kota Troya yang melarikan diri sesudah kalah perang melawan Yunani. masyarakat Roma mempercayai bahwa mereka berasal dari kaum terbuang, pelarian atau pengungsi yang mencoba bertahan hidup di daerah asing.
Karena itu walaupun pada awalnya Romawi mengikuti corak yunani dengan model kerajaan, tetapi kemudian secara natural mengubah diri dengan pemerintahan republik. mereka merasa pede dengan perbedaan yang mereka miliki dan menyadari betul bahwa nenek moyangnya yaitu kaum terbuang sehingga Roma membuka diri terhadap semua orang yang bernasib sama yang hendak mencari daerah proteksi dan membuka lembaran hidup baru.
Lukisan tokoh Cincinnatus yang menggambarkan Romawi sebagai masyarakat agraris |
Tidak ibarat bangsa lainnya dimana kewarganegaraan yaitu hal yang hampir sakral dan hanya didapatkan dari keturunan atau kelahiran, Romawi menunjukkan status warga negara kepada semua orang yang menginginkannya dengan syarat yang lunak. mereka tidak takut terhadap loyalitas mendua, bagi Romawi kesamaan kepentingan dan tujuan jauh lebih menjamin daripada kesetiaan hanya sebab faktor keturunan pribumi semata.
Semua warga romawi apapun asal usulnya dan daerah kelahirannya berhak mendapatkan proteksi hukum, sistem peradilan terbuka, kesempatan perjuangan dan hak berpolitik. bahkan kepada tahanan sekalipun seorang warga Roma dijamin tidak akan mendapatkan kekerasan, siksaan, sanksi ataupun penahanan sebelum menjalani peradilan. hal ini cukup revolusioner apabila dibandingkan dengan aturan kerajaan dimana rakyat dianggap sebagai objek milik penguasa.
Kebaikan di atas hanya perlu dibayar dengan menjadi warga yang patuh aturan dan sebuah janji. "ketika Republik diserang, anda mau membantu untuk mempertahankannya."
Begitu banyak benefit dan murahnya "harga" yang ditawarkan menciptakan banyak masyarakat yang terusir dari daerah asalnya berakhir di Roma. bukan hanya masyarakat kelas bawah tetapi termasuk juga kaum cendikiawan dan bekas aristokrat yang dimusuhi di daerah asalnya. keberadaan mereka menciptakan Roma bisa mengejar banyak ketertinggalan di sektor pendidikan, seni dan sastra.
Sedangkan kaum pekerja baik andal ataupun tidak akan berkontribusi pada sektor ekonomi, hiburan serta pelayanan masyarakat. kemudian generasi muda akan mendapatkan latihan militer sebagai cuilan dari pendidikan sebagai persiapan untuk mempertahankan diri dari serangan bangsa lain. kebijakan buka pintu yang mereka lakukan begitu menguatkan Romawi hingga fondasi sebuah peradaban besar bisa selesai dalam waktu singkat.
Kavaleri Romawi bukan aristokrat tetapi berasal dari kelas sosial atas yang bisa membeli seekor kuda |
Kebijakan yang sama juga kuat pada corak peperangan yang mereka lakukan. kembali ke ilustrasi petani, apabila dahulu mereka berperang setiap trend panen yang kekurangan untuk rebutan panen dan sapi tetangganya. kini tidak hanya gontok-gontokan kemudian selesai bawa lari sapi tetapi setelahnya mereka akan mengajak tetangganya untuk bergabung bersama mereka.
"Gimana jikalau situ ikut jadi Romawi saja? jadi kita tidak usah perang tiap tahun gtu lho. tahun depan kita perang melawan si bergairah dari kampung sebelah sungai saja, sapi nya gemuk-gemuk.."
Kewarganegaraan Romawi juga diberikan kepada bekas musuh-musuhnya. tentu ada syaratnya yakni dengan merampungkan dinas militer terlebih dahulu barulah mendapatkan kewarganegaraan baik setengah atau penuh. tetapi hal yang sepertinya kecil ini akan membawa imbas yang sangat besar.
Pada umumnya bangsa yang kalah perang akan diperlakukan sebagai sapi perah yang dijajah di tanah kelahirannya sendiri. hal ini menciptakan risiko pemberontakan selalu tinggi, ketika penguasa lemah maka bangsa yang dijajah akan merebut kekuasaan kemudian memerdekakan diri. ini yaitu siklus berdiri dan tenggelamnya kerajaan atau bangsa semenjak jaman prasejarah.
Romawi memutus mata rantai tersebut dengan memanjangkan tangannya kepada pihak yang dikalahkan dalam perang. asalkan bukan lawan politis, tidak berstatus budak atau bermasalah secara aturan maka mereka berkesempatan untuk menjadi warga negara Romawi. hal ini menciptakan populasi yang dikalahkan tidak akan sibuk berkomplot untuk memberontak sebab diperlakukan sederajat dan bisa memulai lembaran gres dalam hidup.
Pada kebanyakan perkara masyarakat kelas bawah bekas kerajaan yang dikalahkan justru mempunyai kesempatan hidup yang lebih baik di bawah pemerintahan republik. sebab itu banyak yang melupakan loyalitasnya terhadap kerajaan lama. hal ini menciptakan aristokrat kerajaan usang yang berniat memberontak impoten sebab tidak mempunyai dukungan masyarakat luas yang bisa digerakkan untuk melaksanakan perebutan kekuasaan.
Kemampuan militer Romawi terus membesar seiringan dengan pertambahan populasi dari wilayah taklukan |
Bagi Romawi bukan hanya soal keamanan dari pemberontakan yang menciptakan perkembangannya semakin optimal, perpanjangan tangan terhadap mantan lawan juga sangat menguntungkan dari sisi militer. setiap suku yang mendapatkan permintaan Romawi akan mengirimkan generasi muda mereka untuk menjalani dinas militer. sebab itu sesudah perang Romawi justru mempunyai lebih banyak prajurit yang bisa digerakkan dalam kampanye militer.
Berbeda dengan kerajaan lain dimana prajurit haruslah suku orisinil bangsanya, romawi mengambil prajurit dari setiap suku yang menjadi warga negara, baik itu suku orisinil Roma ataupun suku abnormal yang gres saja dikalahkan dalam perang. dengan pembinaan menjadi Legiuner generasi muda mantan lawan akan terbiasa dengan budaya, cara hidup dan aliran Romawi sehingga semakin mantap menjadi warga negara republik yang loyal dan bisa diandalkan.
Sekali menang menciptakan populasi dan militernya bertambah. 100x menang maka kelipatannya hampir 100x juga. ini yaitu sulap ala Romawi. asalkan bisa terus menerus menang maka Romawi terus bertambah kuat dan besar.
Lalu apa rahasianya hingga Romawi bisa terus menerus menang?
Well... sebenarnya romawi cukup banyak menderita kekalahan. untuk soal ini Republik dan gaya militernya yang bukan kasta kesatria tetapi mengandalkan pada citizen soldier terbukti menjadi senjata makan tuan sebab terlalu idealis. faktanya mereka yang sehari-hari bekerja sebagai petani atau filusuf ketika diperlukan menjadi prajurit dan jendral dalam perang hasilnya bisa fatal.
Ditambah lagi dengan kebijakan pergantian konsul yang juga pemimpin militer disertai dengan perekrutan prajurit untuk dinas militer gres menciptakan keahlian tempur mereka selalu dalam kondisi tidak optimal. terlatih ya, tetapi jarang berpengalaman. legiun gres mengandalkan pada para veteran yang secara sukarela mengambil masa dinas lagi tetapi jumlahnya tidak besar sebab di era republik prajurit karier masih belum berkembang.
Kemampuan Romawi yang bisa dibilang payah itu terus menerus menjadi mangsa pasukan yang berjumlah lebih kecil dan lebih jelek perlengkapannya tetapi mempunyai pengalaman tempur dan kepemimpinan militer yang prima. ibarat pada Perang Punic 2 Romawi begitu putus asa sebab jumlah dan kualitas militer mereka yang superior ternyata tidak bisa melawan pasukan Hannibal yang berjumlah lebih kecil dari mereka.
Di Cannae 70 ribu Legiuner Romawi menjadi korban dalam 1 hari, angka yang tidak pernah terulang lagi dalam sejarah |
Tetapi ada hal yang tidak dimiliki oleh bangsa lainnya yang pada akhirnya menciptakan Romawi unggul. sejarah menuliskan bahwa Romawi di era Republik tidak jaya dengan mengalahkan lawan yang jauh lebih besar darinya ibarat Alexander the Great. Romawi menjadi jaya sebab tidak pernah kehabisan prajurit walaupun terus menerus dikalahkan oleh lawan yang lebih hebat darinya.
Perang melawan Hannibal memakan puluhan ribu demi puluhan ribu pasukan Romawi pada setiap kekalahan. nyaris 100 ribu per tahun warga Romawi menjadi korban dalam perang. sebuah jumlah yang fantastis, kekalahan yang teramat besar bahkan di jaman modern sekalipun. bagi bangsa manapun kekalahan semacam itu hampir niscaya mengambarkan kehancuran sebuah bangsa. tetapi Romawi mengalami 3x kekalahan serupa berturut-turut namun tetap kokoh berdiri.
Setiap kehilangan 100 ribu prajurit warga Roma bisa menghimpun 100 ribu lagi untuk berperang di tahun berikutnya. kemampuan ini yaitu hasil dari kebijakan buka pintu dan kewarganegaraannya yang berjalan dengan sangat baik. kedua hal tersebut mengakibatkan kekuatan SDM Romawi begitu superior sebab tidak hanya mengandalkan pada suku asli, mitra dan sekutu tetapi juga mantan lawan yang menjadi warga negara.
Begitu dahsyat SDM Romawi sehingga pada waktu yang bersamaan dengan kekalahan terbesar mereka, Roma masih bisa menjalankan perang di 3 daerah lainnya melawan kerajaan yang berbeda. militer Romawi bagaikan mesin perang yang terus berdiri dari maut walaupun terus menerus dikalahkan dengan telak. hal ini menciptakan lawan-lawannya kelelahan sebab tidak bisa mengimbangi jumlah lawan yang tampak tidak pernah habis.
Mungkin pernyataan Raja Pyrrus dari Epirus sebelum era Perang Punic ketika Romawi masih kekuatan kecil di Italy paling menggambarkan situasi ini. ketika itu sang raja gres saja menang perang ke 2 melawan Romawi. ada yang mengucapkan selamat dan mendoakan biar ia bisa menang lagi melawan Roma. tetapi Pyrrus justru menjawab, "Kemenangan ibarat ini sekali lagi akan menciptakan kita semua hancur."
Barisan Phalanx profesional Yunani (kanan) melawan warga-prajurit Romawi |
Sebutan Pyrric Victory lahir dari bencana tersebut. kemenangan Pyrrus atas Romawi begitu menelan korban jiwa di pihaknya sehingga basis kekuatannya berkurang secara drastis. prajurit terlatih miliknya tidak diciptakan dalam waktu singkat sedangkan Romawi tampak tidak pernah kehabisan penduduk untuk dijadikan prajurit. suatu kemampuan yang fenomenal padahal pada era tersebut Republik Romawi masih dianggap kekuatan kecil yang belum diperhitungkan
Republik menjadi besar sebab membuka diri terhadap pengungsi dan pelarian tetapi lambat laun fakta ini dilupakan oleh mereka. pada masa imperium Romawi semakin menutup diri dan berlaku eksklusif, mendapatkan suku pelarian hanya untuk menimbulkan mereka prajurit tetapi tidak berlaku adil terhadap populasi mereka yang tidak diterima sebagai cuilan dari kependudukan Romawi. ketidakpuasan menjadi tinggi sebab diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.
Pada masa berikutnya kewarganegaraan romawi semakin sulit diperoleh, bahkan beberapa suku besar tidak pernah ditawarkan sebab dianggap terlalu asing. hal ini menciptakan suku-suku tersebut bersatu dengan membentuk konfederasi yang kemudian mengancam imperium Romawi. akhirnya modal kekayaan dan populasi dari jaman republik habis kemudian imperium harus terpecah sebab konflik perbatasan yang menyerap habis sumber daya mereka.
Ironisnya sejarah hampir kembali terulang. pandai balig cukup akal ini eropa, amerika dan negara lainnya cenderung melaksanakan hal yang sama terhadap para pengungsi. padahal dengan menutup pintu, mereka sama saja menolak sumbangan tenaga yang tiba dan justru memberikannya kepada musuh. pengungsi yang ditolak tidak punya lagi tujuan dan karenanya gampang memendam kebencian sehingga gampang diperalat untuk tindakan agresi radikal dan terorisme.
Dalam hal ini mungkin dunia perlu kembali mencar ilmu dari dongeng awal sekumpulan masyarakat pelarian dan pengungsi yang berjulukan Romawi. bagaimana mereka berjaya sebab mendapatkan kaum terbuang, pelarian dan pengungsi dengan tangan terbuka. dan bagaimana mereka hancur sebab menolak.