Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wahidin Soedirohoesodo Dan Soetomo: Dari Kebangkitan Jawa Menuju Kebangkitan Nasional

Kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta. Foto: KITLV

Dikirim oleh Ibrahim Ahmad Isa, Mahasiswa Ilmu Sejarah UI

Tanggal 20 Mei 1908 merupakan tanggal berdirinya Boedi Oetomo dan menjadi Hari Kebangkitan Nasional. Namun masih banyak pro dan kontra mengenai penetapan tanggal berdirinya Boedi Oetomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional mengingat Boedi Oetomo yang merupakan organisasi “Kebangkitan Jawa”. Namun kalau kita telusuri jejak pedoman dua tokoh pendirinya, Wahidin Soedirohoesodo dan Soetomo, maka kita sanggup melihat betapa Boedi Oetomo berperan penting dalam terciptanya gagasan “Kebangkitan Nasional.”

Wahidin Soedirohoesodo merupakan keturunan priyayi dan menjadi pribumi pertama yang bersekolah di sekolah dasar khusus untuk belum dewasa Eropa (ELS). Dia mempunyai impian dan gagasan mengenai “Kebangkitan Jawa” dimana sudah saatnya rakyat Jawa berdiri dari “tidurnya” dan berdiri dari keterpurukan. Pemikirannya tersebut dipengaruhi oleh aneka macam kejadian di luar negeri ibarat gerakan Pan-Islamisme, gerakan Turki Muda, reformasi Kwang-zu di Cina, dan kemenangan Jepang atas Rusia. 

Oleh sebab itu, pada usia 48 tahun, ia menjadi Pemimpin Redaksi Retnodhoemilah. Melalui majalah tersebut, ia selalu memberitakan dan mengomentari dengan penuh simpati munculnya upaya masyarakat dalam mendorong kebangkitan Jawa ini terutama di bidang pendidikan dan kebudayaan. Namun, sebab kurangnya sambutan dari masyarakat, ia mengundurkan diri dari Retnodhoemilah dan menghabiskan waktunya berkeliling Jawa dan bertemu psra pemuka ibarat bupati kaya dan kaum priyayi kelas atas untuk mencari dukungan. Namun banyak yang menolak dan bahkan menganggap Wahidin sebagai mengganggu keamanan dan ketertiban.

Pada final tahun 1907, Wahidin diundang oleh siswa STOVIA Jakarta, Soetomo dan Soeradji, untuk mengemukakan gagasan dan cita-citanya di depan para siswa STOVIA. Melalui hal tersebut, Wahidin dan para siswa STOVIA setuju untuk membentuk organisasi yang berjulukan Boedi Oetomo dengan Soetomo sebagai ketuanya. Berdirinya  Boedi Oetomo memang cukup menggemparkan mengingat Boedi Oetomo merupakan organisasi “Kebangkitan Jawa”. Namun, seiring berjalannya waktu, sebab duduk kasus pendanaan, kepemimpinan Boedi Oetomo jatuh ke tangan para priyayi bau tanah yang kurang cerdik dan anti pembaruan. Hal tersebut menciptakan Soetomo menjadi lebih focus dalam menuntaskan studinya.

Setelah Soetomo menuntaskan studinya, ia ditempatkan di aneka macam kota sebagai dokter. Hal tersebut menciptakan membuka wawasan gres bagi dirinya yang diajarkan oleh Wahidin mengenai “kebangkitan Jawa” menjadi “kebangkitan Indonesia”. Kemudian, beliau melanjutkan studi ke Belanda dan disana ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. 

Hal tersebut menciptakan wawasan nasionalismenya menjadi terang dan rinci. Setelah kembali ke Tanah Air, belum ada organisasi yang menampung aspirasi gagasan beliau mengingat banyaknya organisasi Islam dan kedaerahan. Oleh sebab itu, para anggota Perhimpunan Indonesia tersebut membentuk suatu kelompok-kelompok studi di aneka macam kota. Soetomo membentuk Kelompok Studi Indonesia di Surabaya pada 11 Juli 1924. Melalui kelompok-kelompok berguru ini, mereka menanamkan ideology nasionalisme Indonesia dan kesadaran kebangsaan Indonesia. 

Setelah bibit-bibit yang cukup kuat tersebut, mereka setuju untuk membentuk partai politik yakni Partai Nasional Indonesia (PNI). Namun Pemerintah Kolonial Belanda menawarkan reaksi keras dengan menangkap para pemimpin PNI sehingga partai tersebut nyaris tak berfungsi. Dalam kondisi kekosongan tersebut, Soetomo memainkan tugas dengan mengubah  Kelompok Studi Indonesia menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). 

Melalui PBI, ia membentuk partai politik gres yakni Partai Indonesia Raya (Parindra) pada tahun 1935. Di bawah kepemimpinan Soetomo, Parindra menjadi kelompok Indonesia paling kuat di Volksraad. Parindra juga menawarkan bantuan-bantuan berharga kepada orang Indonesia di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Namun, tak berlangsung lama, Soetomo meninggal dunia pada 30 Mei 1938 di Surabaya.

Dalam klarifikasi tersebut, sanggup dilihat perubahan pedoman dari “kebangkitan Jawa” menjadi “kebangkitan nasional” menjadi benih yang kuat dalam mendorong pergerakan nasional dan penanaman ideologi nasionalisme Indonesia. Dan hal tersebut tidak terlepas dari tugas dua tokohnya yakni Wahidin Soedirohoesodo dan Soetomo.