Peristiwa Yogya Kembali 1949
Presiden Soekarno dan Wapres Moh. Hatta tiba kembali di Yogyakarta dari pengasingan di Bangka. Foto: 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1960, 1995.
- Pasca disetujuinya Perjanjian Roem Royen pada tanggal 29 Juni 1949, pasukan Belanda ditarik mundur ke luar Yogyakarta. Setelah itu Tentara Nasional Indonesia masuk ke Yogyakarta. Peristiwa keluarnya tentara Belanda dan masuknya Tentara Nasional Indonesia ke Yogyakarta dikenal dengan Peristiwa Yogya Kembali. Presiden Sukarno dan Wapres Moh. Hatta ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949.
Sejak awal 1949, ada tiga kelompok pimpinan RI yang dinantikan untuk kembali ke Yogyakarta. kelompok pertama ialah Kelompok Bangka. Kedua ialah kelompok PDRI dibawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara. Kelompok ketiga ialah angkatan perang dibawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX diarak masyarakat pasca penarikan mundur pasukan Belanda dari Yogyakarta. Foto: Pinterest
Sultan Hamengkubuwono IX bertindak sebagai wakil Republik Indonesia, sebab Keraton Yogyakarta bebas dari intervensi Belanda, maka mempermudah untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan kembalinya Yogya ke Republik Indonesia. Kelompok Bangka yang terdiri dari Sukarno, Hatta, dan rombongan kembali ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949, kecuali Mr. Roem yang harus menuntaskan urusannya sebagai ketua delegasi di UNCI, masih tetap tinggal di Jakarta.
Rombongan PDRI mendarat di Maguwo pada 10 Juli 1949. Mereka disambut oleh Sultan Hamangkubuwono IX, Moh. Hatta, Mr.Roem, Ki Hajar Dewantara, Mr. Tadjuddin serta pembesar RI lainnya. Pada tanggal itu pula rombongan Panglima Besar Jenderal Sudirman memasuki Desa Wonosari.
Rombongan Jenderal Sudirman disambut kedatangannya oleh Sultan Hamengkubuwono IX dibawah pimpinan Letkol Soeharto, Panglima Yogya, dan dua orang wartawan, yaitu Rosihan Anwar dari Pedoman dan Frans Sumardjo dari Ipphos. Saat mendapatkan rombongan penjemput itu Panglima Besar Jenderal Sudirman berada di rumah lurah Wonosari.
Jenderal Sudirman dengan ditandu memasuki kota Yogyakarta sehabis melaksanakan perang gerilya. Foto: 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1960, 1995.
Saat itu dia sedang mengenakan pakaian gerilya dengan ikat kepala hitam. Pada esok harinya rombongan Pangeran Besar Jenderal Sudirman dibawa kembali ke Yogyakarta. Saat itu dia sedang menderita sakit dengan ditandu dan diiringi oleh utusan dan pasukan dia dibawa kembali ke Yogyakarta. Dalam kondisi letih dan sakit dia mengikuti upacara penyambutan resmi dengan mengenakan baju khasnya yaitu pakaian gerilya.
Upacara penyambutan resmi para pemimpin RI di Ibukota dilaksanakan dengan penuh khidmat pada 10 Juli. Sebagai pimpinan inspektur upacara ialah Syafruddin Prawiranegara, didampingi oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman dan para pimpin RI yang gres saja kembali dari pengasingan Belanda. Pada 15 Juli 1949, untuk pertama kalinya diadakan sidang kabinet pertama yang dipimpin oleh Moh. Hatta.
Pada kesempatan itu Syafruddin Prawiranegara memberikan kepada Presiden Sukarno ihwal tindakan-tindakan yang dilakukan oleh PDRI selama delapan bulan di Sumatera Barat. Pada kesempatan itu pula Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RI Sukarno. Dengan demikian maka berakhirlah PDRI yang selama delapan bulan memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi RI.
- Pasca disetujuinya Perjanjian Roem Royen pada tanggal 29 Juni 1949, pasukan Belanda ditarik mundur ke luar Yogyakarta. Setelah itu Tentara Nasional Indonesia masuk ke Yogyakarta. Peristiwa keluarnya tentara Belanda dan masuknya Tentara Nasional Indonesia ke Yogyakarta dikenal dengan Peristiwa Yogya Kembali. Presiden Sukarno dan Wapres Moh. Hatta ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949.
Sejak awal 1949, ada tiga kelompok pimpinan RI yang dinantikan untuk kembali ke Yogyakarta. kelompok pertama ialah Kelompok Bangka. Kedua ialah kelompok PDRI dibawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara. Kelompok ketiga ialah angkatan perang dibawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Sultan Hamengkubuwono IX bertindak sebagai wakil Republik Indonesia, sebab Keraton Yogyakarta bebas dari intervensi Belanda, maka mempermudah untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan kembalinya Yogya ke Republik Indonesia. Kelompok Bangka yang terdiri dari Sukarno, Hatta, dan rombongan kembali ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949, kecuali Mr. Roem yang harus menuntaskan urusannya sebagai ketua delegasi di UNCI, masih tetap tinggal di Jakarta.
Rombongan PDRI mendarat di Maguwo pada 10 Juli 1949. Mereka disambut oleh Sultan Hamangkubuwono IX, Moh. Hatta, Mr.Roem, Ki Hajar Dewantara, Mr. Tadjuddin serta pembesar RI lainnya. Pada tanggal itu pula rombongan Panglima Besar Jenderal Sudirman memasuki Desa Wonosari.
Rombongan Jenderal Sudirman disambut kedatangannya oleh Sultan Hamengkubuwono IX dibawah pimpinan Letkol Soeharto, Panglima Yogya, dan dua orang wartawan, yaitu Rosihan Anwar dari Pedoman dan Frans Sumardjo dari Ipphos. Saat mendapatkan rombongan penjemput itu Panglima Besar Jenderal Sudirman berada di rumah lurah Wonosari.
Saat itu dia sedang mengenakan pakaian gerilya dengan ikat kepala hitam. Pada esok harinya rombongan Pangeran Besar Jenderal Sudirman dibawa kembali ke Yogyakarta. Saat itu dia sedang menderita sakit dengan ditandu dan diiringi oleh utusan dan pasukan dia dibawa kembali ke Yogyakarta. Dalam kondisi letih dan sakit dia mengikuti upacara penyambutan resmi dengan mengenakan baju khasnya yaitu pakaian gerilya.
Upacara penyambutan resmi para pemimpin RI di Ibukota dilaksanakan dengan penuh khidmat pada 10 Juli. Sebagai pimpinan inspektur upacara ialah Syafruddin Prawiranegara, didampingi oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman dan para pimpin RI yang gres saja kembali dari pengasingan Belanda. Pada 15 Juli 1949, untuk pertama kalinya diadakan sidang kabinet pertama yang dipimpin oleh Moh. Hatta.
Pada kesempatan itu Syafruddin Prawiranegara memberikan kepada Presiden Sukarno ihwal tindakan-tindakan yang dilakukan oleh PDRI selama delapan bulan di Sumatera Barat. Pada kesempatan itu pula Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RI Sukarno. Dengan demikian maka berakhirlah PDRI yang selama delapan bulan memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi RI.