Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penjelasan Singkat Insiden Gerakan 30 September 1965


Gerakan 30 September 1965, atau disingkat G30S/PKI. Pihak Angkatan Darat menyebutnya sebagai Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau Gestok (Gerakan Satu Oktober). G30S/PKI merupakan suatu  insiden yang dikatakan sebagai suatu perjuangan perebutan kekuasaan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam perjuangan perebutan kekuasaan tersebut, turut menjadi korban tujuh perwira tinggi Angkatan Darat Indonesia, sebagai suatu perjuangan menyingkirkan pihak-pihak yang oleh PKI disebut sebagai Dewan Jenderal dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Ketujuh perwira tersebut terbunuh pada dini hari 1 Oktober 1965. Pembunuhan dipimpin oleh Letkol Untung simpatisan PKI dari Resimen Cakrabirawa.

Perwira AD yang terbunuh pada 1 Oktober 1965, yakni:
  • Letjen Tentara Nasional Indonesia Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
  • Mayjen Tentara Nasional Indonesia Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
  • Mayjen Tentara Nasional Indonesia Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  • Mayjen Tentara Nasional Indonesia Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
  • Brigjen Tentara Nasional Indonesia Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
  • Brigjen Tentara Nasional Indonesia Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
  • Lettu CZI Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal Tentara Nasional Indonesia Abdul Harris Nasution)

Adapun Jenderal Tentara Nasional Indonesia A.H Nasution sebagai salah satu target berhasil selamat. Selamatnya Jenderal Nasution diikuti dengan tewasnya ajudannya, Letnan Satu CZI Pierre A. Tendean dan putri Jenderal Nasution, Ade Irma Suryani.

Perwira Tinggi Militer yang menjadi korban G30S/PKI

Pasca mengalami penganiayaan dan pembunuhan, ketujuh perwira militer dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya dekat Lanud Halim Perdanakusuma. Mayat mereka ditemukan kemudian pada 3 Oktober 1965.

Beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
  • Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
  • Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
  • Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Isu Dewan Jenderal

Isu Dewan Jenderal merupakan sebuah isu politik yang dipopulerkan oleh PKI melalui media-media sayap kirinya, menyerupai Harian Rakyat yang diketuai oleh Njoto, wakil Ketua CC PKI.

Ketika meletus insiden 30 September 1965, pada tanggal 1 Oktober dengan lugas dan lengkap Harian Rakyat memberitakan insiden tersebut.

Dewan Jenderal merupakan julukan yang ditujukan kepada beberapa petinggi Angkatan Darat Indonesia yang tidak puas terhadap kebijakan Presiden Soekarno. Menurut PKI, Dewan Jenderal berusaha untuk melaksanakan perebutan kekuasaan pada 5 Oktober 1965.

Isu sakitnya Bung Karno

Terdapat sebuah kabar yang berkembang mengenai kondisi kesehatan Presiden Sukarno pada tahun 1964. Berkaitan dengan kabar yang belum teruji ini, kemudian diangkat oleh PKI untuk memojokan Dewan Jenderal yang diisukan akan melaksanakan perebutan kekuasaan sebelum simpulan hidup Presiden Soekarno.

Kabar mengenai kesehatan Bung Karno sendiri didapatkan dari laporan tim medis presiden yang berasal dari Tiongkok.

Pembentukan Angkatan Ke-5 dan Konfrontasi Malaysia.

Pembentukan Angkatan Ke-5 merupakan sebuah gagasan yang mencuat menjelang perebutan kekuasaan 30 September 1965.

Ide pembentukan Angkatan Ke-5 berasal dari kesediaan Perdana Menteri Tiongkok, Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata ringan secara gratis sebagai bentuk pinjaman konfrontasi yang sedang dilakukan Indonesia .

PKI kemudian memperlihatkan anjuran kepada Presiden Soekarno untuk membentuk angkatan bersenjata diluar Tentara Nasional Indonesia dengan mempersenjatai buruh dan petani sebagai bentuk pertahanan dan peningkatan kekuatan sukarelawan guna mendukung Konfrontasi Malaysia. Ide ini mendapatkan penolakan dari beberapa petinggi Angkatan Darat. Menurut Angkatan Darat, pembentukan kesatuan gres diluar matra yang ada, dikhawatirkan mengakibatkan permasalahan pertahanan nasional.

Angkatan Darat pada hasilnya menyetujui pembentukan Angkatan Ke-5 dengan syarat bahwa bukan hanya buruh dan petani, tetapi seluruh elemen masyarakat harus dipersenjatai.

PKI kemudian menuduh bahwa Angkatan  Darat kontra revolusi dan tidak mendukung penuh konfrontasi Malaysia.

Hal ini sanggup diangggap benar lantaran menjelang tahun 1964, beberapa kalangan dari Angkatan Darat secara tertutup membuka komunikasi dengan Malaysia guna meredakan dan menuntaskan konflik.

Pasca G30S/PKI

Pasca pembunuhan beberapa perwira Tentara Nasional Indonesia AD, PKI berusaha menguasai dua sarana komunikasi vital, yakni studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. 

Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman ihwal Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan perebutan kekuasaan terhadap pemerintah yang sah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Reaksi masyarakat terhadap Gerakan 30 September 1965 cenderung negatif dan berbalik menuduh PKI sebagai dalang perebutan kekuasaan 1965. Mayjen. Soeharto kemudian memimpin upaya pencarian perwira korban G30S/PKI dan pembubaran PKI saat mendapatkan mandat Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).

Beberapa bulan pasca peristiwa, semua anggota dan simpatisan PKI ditangkap dan terjadi pembunuhan oleh masa yang tergabung dalam militer, sipil dan kelompok Islam. Diketahui ratusan ribu buruh dan petani Indonesia mengalami persekusi, dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Menurut Soe Hok Gie, Bali menjadi daerah terbanyak korban pembunuhan.

Diperkirakan 500.000 hingga 2.000.000 orang anggota atau mereka yang dianggap simpatisan PKI terbunuh dalam pencucian unsur-unsur komunisme dari tahun 1965-1966. Bahkan menurut Letnan Jenderal Tentara Nasional Indonesia Sarwo Edhie Wibowo selaku pemimpin gerakan pembersian komunis, korban tewas mencapai lebih kurang 3000.000 jiwa.

Peristiwa G30S/PKU turut menjadi lantaran jatuhnya Presiden Soekarno dari dingklik kepresidenan dan menimbulkan Mayjen Soeharto naik sebagai pejabat presiden dan kemudian presiden ke-2 Republik Indonesia yang disahkan oleh MPRS.

Pada 23 Februari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan negara kepada Jenderal Soeharto selaku pengemban Tap MPRS No. IX tahun 1967. Kemudian pada 7-12 Maret 1967, MPRS menyelenggarakan Sidang istimewa di Jakarta. Dalam sidang tersebut, MPRS dengan ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 menetapkan untuk mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno. 

Pada tanggal 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto diambil sumpahnya dan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Sebelumnya, pada Sidang Umum MPRS pada 5 Juli 1966 telah disahkan Tap MPR No. XXV tahun 1966 oleh pimpinan MPRS, Jenderal A.H. Nasution (Ketua) dan Wakil Ketua Osa Maliki, M. Siregar, Subchan Z.E., dan Mashudi.

Tap MPR No. XXV tahun 1966 berisi:

Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan menyatakan sebagai Organisasi terlarang di seluruh Indonesia dan Larangan setiap acara untuk berbagi atau mengembangkan faham atau aliran Komunisme/Marxisme-Leninisme.


Untuk mengenang insiden berdarah tersebut, setiap 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G30S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dibangun untuk mengingatkan insiden tersebut.

Gelar Pahlawan Revolusi disematkan kepada sejumlah perwira militer yang gugur dalam insiden perebutan kekuasaan G30S/PKI yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta pada tanggal 30 September 1965.