Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ular Besi Penyelamat Republik : Menghindari Teror Belanda Dan Hijrahnya Pemimpin Republik


 - Pada final 1945 situasi Jakarta sangat kacau. Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) kembali membuka kantor di bawah kendali HJ van Mook. Penculikan dan upaya pembunuhan terhadap sejumlah pemimpin Republik yang gres seumur jagung kerap terjadi. Mobil Perdana Menteri Sutan Sjahrir, misalnya, pada 26 Desember 1945 dikejar segerombolan orang bersenjata yang memakai truk. Sjahrir nyaris saja terbunuh. Beruntung Polisi Militer Inggris yang sedang berpatroli tiba menyelamatkan.

Dua hari sesudah itu giliran Menteri Keamanan Rakyat Amir Sjarifuddin yang dicegat. Amir yang dalam perjalanan menuju rumah Bung Karno ditembak di depan Sekolah Tinggi Guru (sekarang Sekoah Tinggi Teologi Jakarta). Peluru meleset dan hanya mengenai mobil. Sebulan sebelumnya Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Mohammad Roem tertembak di serpihan paha kiri.

Situasi Jakarta yang semakin memburuk dan tidak menentu menciptakan Presiden Sukarno menggelar rapat terbatas pada 1 Januari 1946 malam di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Sejarawan dari Yayasan Bung Karno Rushdy Hoesein menyebut rapat tersebut diadakan untuk menyikapi kelanjutan Indonesia sesudah Jakarta kemungkinan besar akan jatuh ke tangan NICA. Muncul proposal biar petinggi negara diboyong ke kawasan lain dan mengendalikan negara dari kawasan itu. Daerah yang menjadi alternatif ialah Yogyakarta.

Masyarakat di dekat lintasan kereta api di belakang kediaman Presiden Sukarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Foto: Repro IPPHOS

"Rapat malam itu tetapkan semua pejabat negara harus meninggalkan Jakarta. Sebelumnya memang Sri Sultan Hamengkubuwono IX pernah mengirim utusan ke Jakarta. Utusan ini membawa surat untuk Presiden Sukarno yang berisi saran biar ibukota dipindahkan ke Yogyakarta," ujar Rushdy dikala pembukaan festival foto “71th RI Bingkisan Revolusi” di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), Jakarta, Jumat, 19 Agustus. Turut dipamerkan replika mini dan foto-foto gerbong yang berjasa membawa para pemimpin republik menuju Yogyakarta.

Menurut Direktur GFJA sekaligus kurator festival "71th RI Bingkisan Revolusi" tersebut Oscar Motuloh replika tersebut ialah tunjangan dari Museum Angkut dan dibutuhkan menjadi primadona selama festival yang akan berlangsung sampai 19 September 2016.

Usulan untuk memindahkan ibukota ke Yogyakarta disetujui peserta rapat. Lalu direncanakan perpindahan ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946 malam. Sukarno berpesan biar para pejabat negara yang ikut tidak membawa bekal apapun. Namun tranportasi apa yang dipakai belum disepakati. Sebab jikalau planning ini bocor dan diketahui NICA seluruh pejabat negara kemungkinan akan disergap dan dibunuh.

Akhirnya Kepala Eksploitasi Barat, Sugandi dipanggil Bung Karno. Bung Karno, kata Rushdy yang juga pembina Komunitas Historia Indonesia, meminta Sugandi mempersiapkan sebuah perjalanan paling bersejarah. Setelah berdiskusi diputuskan perjalanan tersebut memakai ular besi alias kereta api. Esok harinya Sugandi bersama kawan-kawannya dari unit Balai Jasa Manggarai menyiapkan delapan gerbong khusus. "Para pegawai kereta api dikenal sigap membantu usaha dalam masa revolusi," ujar penulis buku 'Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati' yang diterbitkan Gramedia, 2014 itu.

Untuk memuluskan perjalanan, Dipo Lokomotif Stasiun Jatinegara menyiapkan Lokomotif C28-49. Lokomotif buatan Jerman ini yang terbaik masa itu. Mampu melaju dengan kecepatan 120 kilometer perjam. Djawatan Kereta Api juga diminta menyiapkan dua gerbong kereta khusus yaitu KA IL7 dan IL8 untuk presiden dan wakil bersama keluarganya. Kelak gerbong khusus itu berganti nama menjadi Kereta Luar Biasa (KLB).

Tepat tanggal 3 Januari para pegawai kereta api mulai mengelabui sejumlah tentara Belanda yang berjaga dekat Stasiun Manggarai. Sejak siang hari mereka melangsir beberapa kereta. Pada pukul enam sore Lokomotif C28-49 dengan masinis Hoesein yang dibantu oleh stoker (juru api) Moertado dan Soead bergerak dari Stasiun Jatinegara menuju Stasiun Manggarai. "Gerbong-gerbong yang sebelumnya ada di jalur tiga kemudian dipindah ke jalur lima untuk mengelabui tentara Belanda," kata Rushdy.

Setelah lokomotif dan gerboong menyatu kereta pun berjalan mundur dari Stasiun Manggarai menuju jalur arah Stasiun Cikini. Semua lampu gerbong dimatikan dan jendelanya ditutup. Kereta kemudian berhenti di dekat rumah Presiden Sukarno. Sukarno, Hatta, dan sejumlah menteri yang sudah menunggu kemudian mengendap-endap menuju gerbong. Ikut diangkut kereta itu, dua buah kendaraan beroda empat kepresidenan Buick 7 seat bercat hitam dan de Soto bercat kuning. "Tidak ada yang boleh bersuara dikala itu. Semua dilakukan secara hati-hati. Bahkan menyalakan rokok saja tidak boleh," ujar Rushdy.

Perjalanan pun dimulai. Kereta pembawa rombongan ini berjalan lambat. Kecepatan awalnya hanya 5 km/jam. Setelah lewat lewat Stasiun Jatinegara kecepatan mulai ditambah. Lampu balasannya dihidupkan ketika rombongan sudah melalui Stasiun Bekasi. Rombongan presiden tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta pada 4 Januari 1946 pagi, disambut Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VII, dan rakyat Yogyakarta. Usai upacara penerimaan di Stasiun Tugu, rombongan menuju Pura Pakualaman, istana Sri Paku Alam.

Setelah istana siap, Bung Karno dan keluarga meninggalkan Pakualaman dan pindah ke bekas rumah gubernur Belanda di Jalan Malioboro, persis di depan Benteng Vredeburg. Bung Karno sempat berpidato di RRI Yogyakarta untuk mengumumkan ke seluruh dunia bahwa Pemerintah RI semenjak dikala itu.

Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa (pasukan pengawal presiden di masa Sukarno) mengenang dikala itu Sukarno, Fatmawati, Guntur, dan Hatta dikawal 13 polisi pengawal presiden. Diantaranya Soekasah yang kemudian menjadi Duta Besar di Arab Saudi, Winarso yang selanjutnya menjabat Kepala Kepolisan Daerah Jawa Tengah, dan Mangil Martowidjojo (Komandan Detasemen Kawal Pribadi Tjakrabirawa). Mereka bersenjata rangkap, senjata laras panjang M-95 dan revolver. "Kelak momentum mengawal presiden hijrah ke Yogyakarta dijadikan sebagai Hari Bhakti Paspampres," ujar Mangil ibarat tertulis dalam buku 'Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno.”

Lokomotif yang disandingkan dengan rangkaian gerbong Kereta Luar Biasa yang pernah ditumpangi Presiden Soekarno. (Foto: Diana Tri/Kompas)

Bung Karno pernah menulis "Formasi kereta api yang dinamakan KLB ini, mechanis technis dan personil technis ialah salah satu gugusan yang bersejarah dengan gugusan ini saya meninggalkan Jakarta dengan cara diam-diam memindahkan pemerintahan Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta dan semenjak itu gugusan KLB ini masih sering menjalankan tugas-tugas yang penting bagi presiden. Saya besar hati dengan KLB ini".

Gerbong-gerbong bersejarah itu kini tersimpan di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.Sayangnya, kata Rushdy, Lokomotif C28-49 belum diketemukan. Dari 58 lokomotif C28 yang dipakai Djawatan Kereta Api, dikala ini hanya tersisa 1 buah yaitu C28 21 buatan pabrik Henschel. "Lokomotif C28 21 itu dipajang di Museum Kereta Api Ambarawa," ujar Rushdy.

Putri sulung Mohammad Hatta, Meutia Farida Hatta mengenang dirinya dilahirkan dikala dalam pengungsian di Yogyakarta. Meutia menyebut bahwa ayahnya pernah menuturkan insiden pengungsian itu berlangsung amat menegangkan. "Sekarang rel di belakang rumah Bung Karno itu sudah tidak ada alasannya sudah dipindahkan ke atas," ujarnya.

Yang patut disayangkan ialah lok C28 49 yang menjadi penarik kereta bersejarah ini sudah musnah alasannya dijagal/dikilokan. Dari 58 unit loko C28 hanya tersisa lok C28 21 di Ambarawa


Rujukan:  X.Detix.com. Ular Besi.Penyelamat Republik. Tertanggal 26 Agustus 2016.