Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Program Keluarga Berencana (Kb) Pada Abad Orde Baru

Pembukaan festival visual Program Keluarga Berencana dihadiri oleh Presiden Soeharto di Bina Graha pada tahun 1973. Foto: Jakarta IPPHOS

Gerakan Keluara Berencana (KB) yang kita kenal kini awalnya dipelopori oleh beberapa orang tokoh, baik di dalam maupun di luar negeri. Sejak ketika itulah berdirilah perkumpulan-perkumpulan KB di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang mendirikan PKBI (perkumpulan keluarga berencana Indonesia) pada 23 Desember 1957.

Pekembangan awal KB di Indonesia :
  • Pada Januari 1967 diadakan simposium Kontrasepsi di Bandung yang diikuti oleh masyarakat luas melalui media massa
  • Pada Bulan Februari 1967 diadakan diadakan kongres PKBI pertama yang mengharapkan semoga keluarga berencana sebagai jadwal pemerintah segera dilaksanakan
  • Pada April 1967, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin menganggap bahwa sudah waktunya kegiatan KB dilancarkan secara resmi di Jakarta dengan menyelenggarakan proyek keluarga berencana DKI Jakarta Raya
  • Tanggal 16 Agustus 1967 gerakan keluarga berencana di Indonesia memasuki abad peralihan pidato pemimpin negara. Selama orde usang organisasi pergerakan dilakukan oleh tenaga sukarela dan beroperasi secara rahasia lantaran kepala Negara waktu itu anti terhadap keluarga berencana maka dalam orde gres gerakan keluarga berencana diakui dan dimasukan dalam jadwal pemerintah.
  • Pada Oktober 1968 berdiri Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) yang sifatnya semi pemerintah yang dalam tugasnya diawasi dan dibimbing oleh Mentri Negara Kesejahteraan Rakyat, merupakan kristalisasi dan kesungguhan pemerintah dalam kebijakan keluarga berencana.

Pemerintahan Soeharto pada tahun 1970 berupaya untuk menekan laju angka kelahiran dengan membentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) guna mengajak masyarakat Indonesia untuk mengikuti jadwal keluarga berencana di mana jumlah anak dibatasi maksimal dua saja. Program Keluarga Berencana (KB) dilakukan secara teknis menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya pembuahan antara sel sperma dengan sel ovum. 

Masa-masa awal jadwal KB masih belum bisa dijalankan dengan baik lantaran terdapat penolakan dari sebagian masyarakat Indonesia ketika itu. Namun sehabis disebarkannya slogan-slogan propaganda dalam bentuk iklan-iklan di media massa secara intensif dan masif, pengikut jadwal KB semakin meningkat. 

Dalam kurun waktu sekitar 16 tahun (1970-1986) data statistik menyatakan bahwa Jumlah penerima KB  dari 0,3 juta orang telah meningkat menjadi 15,3 juta. Implikasi dari banyaknya pengikut jadwal KB itu sendiri yaitu membuat hubungan positif antara tingkat pengikut jadwal KB dengan peningkatan pembangunan nasional. 

Langkah Pemerintah Mengatasi Penolakan Sebagian Masyarakat (1970-1986)

Untuk menangani permasalahan berupa penolakan Program KB dari sebagian masyarakat indonesia, Pemerintahan Soeharto kala itu paham benar bahwa nilai daripada Program KB ini harus harus dikenalkan kepada masyarakat melalui pendekatan-pendekatan yang intensif. Oleh lantaran itu, kegiatan LKBN lebih berkonsentrasu pada pengadaan dialog-dialog dengan masyarakat luas, para pemuka agama, maupun kaum intelektual.

Pada abad 1950-an gagasan ihwal Keluarga Berencana (KB) menghadapi tantangan berat. Sebagian besar masyarakat dan akademisi cenderung melihat keluarga berencana sebagai upaya pembatasan kehamilan semata, yang pada masa itu dinilai sebagai suatu hal yang dianggap sebagai bentuk perampasan kemerdekaan yang gres saja mereka nikmati.

Di sisi lain, pada periode tersebut pemerintah belum menyadari manfaat keluarga berencana bagi peningkatan kualitas bangsa. Saat itu, hamil dan melahirkan ditanamkan sebagai kiprah mulia perempuan untuk melahirkan jutaan generasi gres Indonesia yang akan mengelola sumber daya alam yang melimpah dan mengangkat gambaran Indonesia sebagai bangsa yang besar di mata dunia.

Propaganda Pemerintahan Melalui Media Massa (1970-1986)

Poster iklan bundar biru Keluarga Berencana (KB) di Jakarta, 1985. Foto: TEMPO/ Didik Budiarta

Wajib kita ketahui bahwa pada masa Orde Baru, media massa sendiri sengaja diatur oleh Pemerintahan Soeharto untuk mempunyai fungsi ganda atau berwajah dua. Fungsi yang pertama dari media massa ketika itu ialah menjadi industri yang bisa mendongkrak kemajuan iklim investasi ke arah yang lebih baik. Terbukti pada tahun 1970, berdatangan dengan cukup masif banyak sekali agensi percetakan aneh yang tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.

Dengan kata lain, Orde Baru dan Soeharto ketika itu telah membentuk media massa sebagai penyokokong perekonomian negara. Wajah yang kedua atau fungsi kedua dari media massa ketika itu ialah menjadi partner pemangunan bagi pemerintah. Dengan demikian media massa baik cetak maupun elektronik harus senantiasa mencukung program-program pemerintahan Orde Baru. Kontrol berpengaruh dari pemerintah terhadap media massa ketika itu dideklarasikan dengan slogan “Bebas, Bertanggungjawab|”, membuat semua aspek dari media massa berada di bawah pegawasan ketat dari Soeharto .

Bentuk pengawasan dan kontrol terhadap segala acara surat kabar maupun penyiaran pada media elektornik baik radio maupun televisi, semuanya dilakukan di bawah kendali Departemen Penerangangan. Oleh lantaran itu, pemerintah melalui Departemen Penerangan tak akan segan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) maupun Surat Izin Usah Penerbitan Pers (SIUPP) bagi surat kabar yang dinilai “bandel” dan tidak taat dengan hukum yang telah dibentuk oleh Orde Baru . Pada Era 1970 an sendiri, siaran radio komersil maupun televisi nasional (TVRI) telah berhasil mengudara di banyak sekali kota besar di Indonesia.

Radio-Radio dan TVRI ketika itu sangat loyal terhadap Departemen Penerangan sebagai wakil pemerintah dalam bidang pengawasan. Oleh lantaran itu pada periode 1966-1980 bertebaran slogan yang sarat akan propaganda Orde Baru. Slogan-slogan sanggup terdapat di media massa ketika itu dengan alasan  pemerintah yaitu untuk menjaga stabilitas nasional demi lancarnya pembangunan nasional. Dan secara teknis, slogan-slogan propaganda pada masa Orde Baru dipakai untuk menyebarkan, menginformasikan, mengintensifkan dan sebagai perpanjangan dari kebijakan-kebijakan pemerintah . Sudah barang tentu sasaran utama dari slogan-slogan propaganda tersebut yaitu masyarakat luas.

Slogan-slogan propaganda tersebut intinya dikeluarkan pemerintah tersebut adala slogan yang bisa mendukung kebijakan atau jadwal yang sedang dijalankan oleh pemerintah. Maka slogan-slogan propaganda tersebut diklarifikasikan menjadi beberapa kelompok.

Salahsatunya yaitu slogan propaganda pemerintah Orde Baru dengan konteks “Kesejahteraan Sosial” di mana KB merupakan salah satu anak programnya. “Dua Anak Cukup” merupakan slogan pemerintah Orde Baru dalam rangka jadwal Keluarga Berencana Nasional . Slogan tersebut senantiasa didengungkan oleh BKKBN melalui banyak sekali cara semoga masyarakat sanggup ikut berpartisipasi dalam jadwal KB guna mengurangi angka kelahiran tersebut.

Juga masih untuk mengatasi permasalahan yang telah saya singgung pada pendahuluan di atas ihwal adanya penolakan sebagian masyarakat Indonesia untuk menjalankan Program KB ini pemerintahan Soekarno mengeluarkan lagi satu slogan yang menghiasi media massa dengan begitu intensifnya: KB, Listrik dan Koran”.

Slogan tersebut dikenal juga sebagai Trio Pembaharuan masyarakat desa. Kembali penulis pertegas bahwa slogan-slogan ihwal KB yang disebarkan secara intensif dan masif melalui banyak sekali macam media massa tersebut yaitu sebagai upaya pemerintahan Soeharto semoga  masyarakat sanggup ikut seta menjalankan jadwal KB seebagai solusi untuk menurunkan angka kelahiran guna tercapainya pembangunan nasional yang lebih baik.

Media Massa dan Suksesnya Program KB (1970-1986)

Logo Keluarga Berencana (KB) tahun 1970an. Foto: Pinterest

Dengan penyebaran slogan-slogan propaganda yang persuasif di media massa dengan masif dan intensif, pemerintahan Soeharto memetik hasil yang baik dalam hal keikutsertaan KB masyarakat pada ketika itu. Dengan berjalannya waktu, makin banyak perempuan dengan paritas  rendah yang menggunakan alat kontrasepsi. Di samping tanda-tanda “alamiah” tersebut jadwal KB sendiri juga makin berkembang dan makin banyak penduduk yang mngenal dan mengetahui baik problem kependudukan sedara umum maupun kegunaan keluarga berencana.

Hal ini membawa hasl makin banyak penduduk yang secara sukarela ingin menggunakan alat komtrasepsi termasuk mereka yang mempunyai paritas rendah. Semenjak mulai dilaksanakan, berkat slogan-slogan propaganda berupa iklan di banyak sekali media massa yang begitu intensif dan masif, jadwal keluarga berencana telah menunjukkan keberhasilan yang mengesanan. Jumlah penerima KB yang pada tahun 1972 hanya 0,3 juta orang telah meningkat menjadi 15,3 juta pada 1986 . Pengetahuan ihwal KB juga telah tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Program KB dan Pembangunan Nasional

Bersama Ibu Tien menyaksikan penerima KB di Posyandu di Kalimantan Timur tahun 1986. Foto: Jakarta IPPHOS

Terdapat hubungan yang positif antara pemakaian alat kontrasepsi dan proporsi sawah dengan irigasi. Artinya ini yaitu indikasi yang membuktikan bahwa jadwal KB yang berjalan dengan baik telah mendorong pembangunan nasional .

Dan secara psikologis, penduduk yang menggunakan alat kontrasepsi juga akan mencicipi adanya peningkatan kesejahteraan mereka sehingga tujuan kualitatif jadwal KB untuk meningkatkan kesejahteraan Penduduk secara tidak eksklusif juga akan tercapai.



Rujukan Pustaka

Soeradji, Budi., dkk. 1987. Analisis Determinan Pemakaian Kontrasepsi dan Efisiensi Pelaksanaan Program Keluarga Berencana. Jakarta: Kerjasama Akademi Ilmu Statistik, Biro Pusat Statistik dan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
BKKBN. 1996. Informasi Dasar Gerakan KB Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN.
Suparlan, B., 1990. Kamus Istikah KKB: Kependudukan dan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Kanisius.
Gazali, Effendi. 2004. Communication of Politics and Politics of Communication in Indonesia: A study on Media Performance, Responbility and Accountability. Nijmegen: Doctoral Thesis Radboud University.
Alkatiri, Zeffry., dkk. 2010. National Integrations Slogans in Printed Mass Media in the Era of New Order Regime in Idonesia 1968-1998. Jakarta: International Journal for History Studies.
Mice, Lucy.,dkk. 2006. 35 years Commitment to Family Planning in Indonesia: BBKBN and USAID’s Historic Patnership. Bloomberg: Johns hopkins Bloomberg School of Public Health Center for Communication.

Tulisan Kiriman Yahya Ali Rabbani. Mahasiswa Sejarah UI.