Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Marsinah Dan Api Usaha Buruh Indonesia

Aksi memperingati 22 tahun tanpa keadilan "Malam Marah Marsinah" di Jakarta. Foto: Liputan6

 - Topik mengenai buruh di Indonesia tiap tahun begitu mengahangat. Hal yang paling umum ialah upaya buruh untuk meminta kenaikan upah setiap tahun. Hal itu dilakukan dengan melaksanakan demonstrasi terhadap pemerintah, yang menjadi ritual tahunan menyerupai pada Hari Buruh Internasional setiap 1 Mei.

Di Indonesia, gosip perburuhan sepertinya gres meluas terkabarkan sehabis mencuat sosok berjulukan Marsinah. Fakta Sejarah mengenai perjuangannya mengangkat harkat buruh di pabrik tempatnya kerja, yang berakhir dengan kematian.

Berita mengenai Marsinah dituturkan Harian Kompas mulai pada edisi 27 Mei 1993, dengan YLBHI sebagai narasumber utama. Marsinah menjadi simbol perlawanan, simbol dari para buruh yang menuntut keadilan kepada para perusahaan yang tidak mau menuruti ketetapan upah minimum.

Mengenai dilema buruh, pergolakan yang terjadi mengangkat gosip mengenai pekerja kantoran yang dianggap naif dan tak mengenal identitas mereka. Mereka dianggap sebagai golongan yang ceriwis kepada para pekerja pabrik yang mereka anggap pekerja rendahan, tetapi turut menikmati hasil tuntutan kaum buruh terhadap upah minimum.

Padahal tak ada perbedaan status antara pekerja kantoran dengan buruh pabrik, lantaran upaha mereka sama-sama diatur oleh upah minimum yang terus diperjuangkan kesesuaiannya oleh kaum buruh.

Pada masa Reformasi, kaum buruh turut serta bagi rampungnya ketentuan jaminan sosial bagi para tenaga kerja yang terkodinir oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS), melalui BPJS Ketenagakerjaan. Pada tahun 2010, sekitar 150.000 buruh buruh turun ke jalan menuntut dirampungkannya jaminan sosial tersebut.

BPJS merupakan amanat lanjutan dari Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diteken Pemerintah pada 2004. Di belakang semua proses itu, ada aksi-aksi buruh yang terus menjaga gelombang perbaikan kesejahteraan.

Satu lagi hasil yang juga tiba dari agresi para buruh, 1 Mei menambah satu lagi kegiatan libur nasional. Ditetapkan pada Juli 2013 lewat Peraturan Presiden, hari libur ini sayangnya sempat terasa sebagai upaya Pemerintah meredam kenyinyiran kelas menengah saja.

Mereka golongan ceriwis menyerupai pekerja kantoran yang merasa terganggu lantaran kemacetan yang disebabkan oleh demonstrasi kaum buruh harusnya patut sadar. Bahwa cuti kerja, kenaikan penghasilan mereka setiap tahunnya semua ialah berkat aspirasi yang naik kepermukaan yang disuarakan oleh kaum buruh!

Seperti untaian lirik dalam lagu Internasionale, bahwa kaum yang lapar dan hina, akan mendapat kemuliaan yang besar, tentunya dengan kerja keras dan berani kencangkan suara!

Dikutip dari Kompas.com, merujuk ke ujaran Jawa, “jer basuki mawa bea”, setiap usaha butuh pengorbanan. Nah, jikalau sekiranya lagi ada di posisi terlalu nyaman untuk beranjak memperjuangkan nasib sendiri boro-boro punya orang banyak, tak perlu juga ceriwis tanpa arah, bukan? Terlebih lagi bila ternyata ikut menikmati upaya orang lain....