Guyonan Gus Dur : Antara Humor dan Makna (3)
Nama Orang Korea Paling Banter Cuma Tiga
Kisah ini terjadi ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden, sementara Menteri Perdagangannya adalah Luhut Panjaitan (Purnawirawan TNI). Suatu ketika, keduanya sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Korea Selatan dalam rangka mencari investor.
Sewaktu akan memberi ceramah tentang iklim investasi di Indonesia, Luhut Panjaitan meminta ajudannya membuat poin-poin penting yang akan diberikan kepada Gus Dur. Karena dia tau Gus Dur tidak mungkin membaca, maka hanya perlu dibuatkan poin-poin pentingnya saja.
"Nanti poin-poin ini yang akan Bapak baca, Pak Presiden," kata Luhut kepada Gus Dur. Gus Dur mendengarkan dengan seksama, lalu menjawab, "Iya, Pak Luhut."
"Nanti pimpinannya bernama ini, Pak (menyebut nama, tapi Luhut agak-agak lupa, sembari menegaskan nama itu)."
Dalam hati Luhut khawatir Gus Dur akan lupa poin-poin pendek yang disebutkan dan nama-nama tersebut. Tapi giliran tiba waktu ceramah, ternyata Gus Dur berbicara panjang lebar tentang ekonomi dan segala macamnya serta menyebut nama pimpinan Korea itu dengan benar.
Luhut kecele, ternyata Gus Dur lebih fasih ngomong soal ekonomi. Tapi satu hal yang mengganjal dan membuat Luhut penasaran, yakni soal nama pimpinan Korea, yang Luhut saja lupa (agak susah mengingatnya).
Dia lalu bertanya kepada Gus Dur. "Kok hafal namanya, Pak?" Gus Dur lalu menjawab, "Ah itu gampang, Pak Luhut. Orang Korea itu namanya paling banter cuma tiga, kalau tidak Park, ya Kim, kalau tidak ya Lee."
Akal Bulus Gus Dur
Saat kuliah di Kairo, teman satu kontrakan Gus Dur jumlahnya sekitar 20 orang. Isinya mahasiswa dari Indonesia semua. Agar adil dan tidak terjadi kecemburuan, maka diadakan pembagian tugas. Jadwal kerja diatur sangat rapi. Siapa yang bertugas membersihkan rumah dan memasak untuk seluruh penghuni sudah ditetapkan sesuai kesepakatan bersama.
Apabila Gus Dur mendapat giliran memasak, penghuni rumah sangat senang karena masakannya lumayan enak dan sedikit mewah untuk ukuran mahasiswa perantauan. Pernah beberapa kali kesempatan, Gus Dur memasak kepala ikan sejenis kakap dalam porsi yang lumayan banyak. Padahal kalau dipikir-pikir anggarannya mepet, tidak mungkin Gus Dur tidak nombok. Tapi pikiran itu cuma dipendam teman-teman sesama penghuni rumah. Yang penting makan enak dan perut kenyang.
Suatu hari giliran Gus Dur, sebut saja Ali, mendapat jatah masak. Dia keliling-keliling pasar dan tanpa sengaja sampai di los khusus penjual ikan. Penjualnya orang Turki. Karena si penjual ramah, maka terciptalah obrolan yang hangat. Begitu tahu si Ali orang Indonesia, si penjual bertanya, "Anda kenal yang namanya Wahid? Dia orang Indonesia juga. Orangnya gemuk dan berkacamata."
"Oh iya, kenal banget. Malah dia teman satu rumah saya," kata Ali.
"Wahid itu orangnya aneh. Setahu saya dia seorang Muslim, tapi kok katanya dia memelihara anjing. Jumlahnya sekitar 20 lagi. Kalau dia datang ke sini,bukannya belanja, tapi cuma meminta kepala ikan untuk dikasihkan ke anjing-anjingnya. Kebetulan kepala ikan itu tidak berguna, jadi daripada saya buang lebih baik saya berikan dia," kata sang penjual ikan panjang lebar.
Si Ali berpikir cepat, lalu memaki-maki dalam hati. Blaik tenan Gus Dur iki! (payah banget Gus Dur ini). Dia baru sadar bagaimana cara Gus Dur mendapatkan kepala ikan yang dimasak untuk teman satu kontrakannya. Bergegas dia pulang dan menceritakan soal itu kepada teman-temannya. Malamnya, Gus Dur "disidang".
"Sialan. Jadi selama ini kamu anggap kita anjing?" kata mereka serempak.
Dasar Gus Dur bocah mbambung di usia mudanya, dia cuma cengar-cengir.
Duet Ideal
Mengejek diri sendiri adalah hal yang kerap yang dilakukan Gus Dur. Dalam sebuah pertemuan besar melibatkan para pebisnis internasional di Bali akhir 1999, di depan ratusan peserta dari berbagai negara, dengan rileks Gus Dur bicara dalam bahasa Inggris yang fasih.
"Presiden dan Wakil Presiden Indonesia kali ini adalah tim yang ideal," katanya.
"Presidennya tidak bisa melihat, dan Wakilnya tidak bisa ngomong," pungkas Gus Dur.
Lap yang Bikin Keringat Dingin
Sewaktu kuliah di Kairo, rekan kuliah satu angkatan Gus Dur adalah KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), yang sekarang menjadi pengasuh Ponpes Rembang. Ketika itu, mereka tinggal satu flat, sejenis apartemen tapi sempit. Jadi, semua kegiatan yang terjadi di dapur bisa kelihatan dari ruang tamu. Begitu pula sebaliknya.
Pada suatu hari, mereka kedatangan tamu penting yang usianya lebih muda alias junior mereka. Tamu itu adalah KH. Abdullah Syukri Zarkasyi (waktu itu tentu saja belum bergelar Kiai Haji) yang sekarang adalah pengasuh Ponpes Gontor.
KH. Abdullah Syukri Zarkasyi diterima dengan ramah, maklum teman satu perantauan. Mereka bertiga terlibat obrolan seru. Sampai kemudian Gus Dur sadar dia belum membuat minum untuk temannya. Dia bergegas menuju dapur, mengambil gelas dan poci berisi air minum. Lalu dibawanya ke ruang tamu, ditaruh di atas meja.
Tiba-tiba KH. Mustofa Bisri berujar keras, "Gelasnya kotor. Mana nih lapnya?"
Gus Dur membuka-buka lemari. Tanpa diduga, dia mengeluarkan celana dalam alias cawet dari lemari, dan dilemparkannya ke arah KH. Mustofa Bisri. Dengan dingin tanpa ekspresi, KH. Mustofa Bisri mengelap gelas dengan cawet tersebut. Dia pun menuangkan minuman dan mempersilakan KH. Abdullah Syukri Zarkasyi minum.
Tentu, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi gelagapan dan kaget setengah mati. Dia tidak menyangka harus minum memakai gelas yang dilap pakai cawet. Mau ditolak takut dikira tidak sopan, tapi kalau diminum kok alangkah menjijikkan. Dengan keringat dingin bercucuran, terpaksa diminumnya juga, meski perasaan berkecamuk. Kemudian, mereka bertiga melanjutkan acara ngobrolnya kembali. Cuma, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi masih terlihat grogi. Karena tidak tega melihat juniornya itu gelisah, Gus Dur mencoba menetralkan suasana.
"Tadi itu sebenarnya bukan bermaksud untuk menggojlokmu, tapi malam untuk menghormatimu. Karena cawet itu adalah kain terbersih yang ada di rumah ini. Sebenarnya cawet itu gres dari toko, belum sempat aku pakai. Jadi belum bisa disebut cawet. Hahaha..."
Maka meledaklah tawa ketiga sahabat itu.
Penerjemah yang Cerdas
Ini cerita lawatan Gus Dur ke negeri Cina saat masih menjadi presiden. Rombongan Gus Dur dijamu oleh pemerintah Cina dengan mewah. Pada acara itu, hadir Perdana Menteri Cina beserta jajarannya.
Setelah acara seremonial yang membosankan, saatnya giliran Gus Dur berpidato mewakili pemerintah Indonesia. Dasar Gus Dur suka ndagel, maka dia mengeluarkan joke-joke segarnya. Setiap beberapa kalimat, ada penerjemah yang menerjemanhkannya ke dalam Bahasa Cina. Hadirin pun dibuat tertawa, meskipun ada jedanya, menunggu sang penerjemah menyelesaikan tugasnya.
Sampai suatu cerita yang asyik, Gus Dur lupa mengerem guyonannya. Saat cerita sudah selesai, barulah dia sadar dan berkata kepada penerjemahnya, "Silahkan diterjemahkan."
Si penerjemah itu berpikir sejenak, lalu dia hanya mengatakan dua patah kata dalam bahasa Cina. Tapi semua yang hadir tertawa serentak. Tentu, Gus Dur heran bukan kepalang sekaligus penasaran, apa yang diucapkan penerjemah itu.
Selesai berpidato, Gus Dur mendekati penerjemahnya dan bertanya, "Apa yang anda ucapkan secara singkat tadi sehingga semua orang tertawa?"
"Oh, saya cuma bilang, 'Silahkan tertawa!" jawab si penerjemah itu dengan enteng.
Jawaban Ho'oh
Seorang ajudan Presiden Bill Clinton dari Amerika Serikat sedang jalan-jalan di Jakarta. Karena bingung dan tersesat, dia kemudian bertanya kepada seorang penjual rokok, "Apa betul ini Jalan Sudirman?"
"Ho'oh," jawab si penjual rokok.
Karena tidak mengerti dengan jawaban itu, dia kemudian bertanya lagi kepada seorang polisi yang sedang mengatur lalu lintas."Apa ini Jalan Sudirman?" Polisi menjawab, "Betul."
Karena bingung mendapat jawaban yang berbeda, akhirnya dia bertanya kepada Gus Dur yang waktu itu kebetulan melintas bersama ajudannya. "Apa ini Jalan Sudirman?" Gus Dur menjawab, "Benar."
Bule itu semakin bingung saja karena mendapat tiga jawaban yang berbeda. Akhirnya dia bertanya kepada Gus Dur lagi, mengapa waktu tanya tukang rokok dijawab "Ho'oh," lalu ketika tanya polisi dijawab "betul" dan yang terakhir dijawab Gus Dur dengan kata "benar."
Gus Dur tertegun sejenak, lalu berkata, "Oh begini, kalau anda bertanya kepada tamatan SD, maka jawabannya adalah 'ho'oh', kalau bertanya kepada tamatan SMA maka jawabannya adalah 'betul'. Sedangkan kalau bertanya kepada tamatan universitas maka jawabannya 'benar'."
Ajudan Clinton itu mengangguk dan akhirnya bertanya, "Jadi anda ini seorang sarjana?"
Dengan spontan Gus Dur menjawab, "Ho'oh!".
Sekian beberapa candaan atau guyonan yang sering dilontarkan oleh Gus Dur. Ambil beberapa sisi positif yang terkandung di dalamnya. Terima kasih.
Sumber https://rikyeka.blogspot.com/