Faktor - Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi Menurut Pendapat Ahli
Otoritas Semu, Pekanbaru - Banyak yang dapat menjadi faktor - faktor penyebab terjadinya korupsi hal ini dapat kita lihat dalam berbagai sudut pandang pendapat para ahli yang akan dijelaskan di bawah ini.
Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi (Ansari Yamamah : 2009) “Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian `terpaksa` korupsi kalau sudah menjabat”. Nur Syam (2000) memberikan pandangan bahwa penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi.
Pandangan lain dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor - faktor penyebab terjadinya korupsi antara lain: (1) aspek perilaku individu (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada (Arifin: 2000). Terhadap aspek perilaku individu, Isa Wahyudi memberikan gambaran, sebab-sebab seseorang melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan.
Sebab - sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain : (a) sifat tamak manusia, (b) moral yang kurang kuat menghadapi godaan, (c) gaya hidup konsumtif, (d) tidak mau (malas) bekerja keras (Isa Wahyudi : 2007).
Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Erry Riyana Hardjapamekas (2008) menyebutkan tingginya kasus korupsi di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa, (2) Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil, (3) Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan, (4) Rendahnya integritas dan profesionalisme, (5) Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga perbankan, keuangan, dan birokrasi belum mapan, (6) Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat, dan (7) Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika.
Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor – faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) motif, baik motif ekonomi maupun motif politik, (2) peluang, dan (3) lemahnya pengawasan.
Menurut Wanaraja (2007) salah satu penyebab paling utama dan sangat mendasar terjadinya korupsi di kalangan birokrat adalah menyangkut masalah keimanan, kejujuran, moral dan etika sang birokrat. Sementara itu, menurut Wattimena (2012) kultur korupsi di masyarakat bisa tercipta karena adanya lingkaran setan: kesenjangan ekonomi, tidak adanya kepercayaan, adanya korupsi berkelanjutan, dan mulai lagi dengan menciptakan kesenjangan ekonomi yang lebih besar, begitu seterusnya.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya).
Klitgaar Hamzah, Lopa menyatakan bahwa penyebab korupsi sebagai berikut:
“Deskresi pegawai yang terlalu besar, rendahnya akuntanbilitas publik. Lemahnya kepemimpinan, gaji pegawai publik dibawah kebutuhan hidup, kemiskinan, moral rendah atau disiplin rendah. Disamping itu juga sifat komsumtif, pengawasan dalam organisasi kurang, kesempatan yang tersedia, pengawasan ekstern lemah, lembaga legislative lemah, budaya memberi upeti, permisif (serba memperbolehkan), tidak mau tahu, keserakahan, dan lemahnya penegakan hukum”.
Ilham Gunawan menyatakan bahwa korupsi dapat terjadi karena berbagai faktor seperti berikut:
- Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
- Kelemahan ajaran-ajaran agama dan etika.
- Akibat kolonialisme atau suatu pengaruh pemerintah asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
- Kurang dan lemahnya pengaruh pendidikan.
- Kemiskinan yang bersifat struktural.
- Sanksi hukum yang lemah.
- Kurang dan terbatasnya lingkungan yang anti korupsi.
- Struktur pemerintahan yang lunak.
- Perubahan radikal, sehingga terganggunya kestabilan mental. Ketika suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit tradisional.
- Kondisi masyarakat karena korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan cerminan keadaan masyrakat secara keseluruhan.
- Peninggalan pemerintahan kolonial
- Kemiskinan dan ketidaksamaan
- Gaji yang rendah
- Persepsi yang populer
- Pengaturan yang bertele – tele
- Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya
- Perumusan perundang – undangan yang kurang sempurna
- Administrasi yang lamban, mahal dan tidak luwes
- Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upah dan suap
- Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi
- Menurut kebudayaannya, orang Nigeria tidak dapat menolak suapan dan korupsi, kecuali menganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya. Manakala orang tidak menghargai aturan – aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Menurut Arya Maheka, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Korupsi adalah
- Penegakan hukum tidak konsisten: penegakan hukum hanya sebagai make-up politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
- Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan kesempatan.
- Langkanya lingkungan yang antikorup: sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
- Rendahnya pendapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
- Kemiskinan, keserakahan: masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
- Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah.
- Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi: saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.
- Budaya permisif/serba membolehkan; tidak mau tahu: menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
- Gagalnya pendidikan agama dan etika: ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.
Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebab – sebab terjadinya tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
- Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya.
- Warisan pemerintahan kolonial.
- Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
- Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
- Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
- Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
- Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
- Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
- Lemahnya ketertiban hukum.
- Lemahnya profesi hukum.
- Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
- Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
- Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
- Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".