Jumat Wage : Hari Naas Kabupaten Ponorogo
Bagi masyarakat Kabupaten Ponorogo pasti tidak asing lagi dengan adanya hari Jumat Wage. Hari yang oleh masyarakat Ponorogo dipercayai memiliki suatu hal mistis dan sejarah kelam para pendiri dari Kabupaten Ponorogo dulu. Tersimpan kisah sejarah hebat yang terjadi pada hari Jumat Wage ini. Sampai saat ini masih ada yang percaya dan ada yang tidak percaya dengan hari Jumat Wage disebut sebagai hari naas atau sialnya Kabupaten Ponorogo. Tergantung pribadi masing-masing, masih percaya atau tidak.
Sebagai seorang manusia kita dituntut untuk terus mencari kebenaran, bukan malah memutlakkan suatu kebenaran. Untuk itu masih banyak masyarakat Ponorogo yang belum mengetahui sejarah atau asal usul peristiwa yang terjadi di Ponorogo ini, salah satunya sejarah Hari Jumat Wage ini. Bagi masyarakat yang percaya bahwa hari Jumat Wage ini merupakan hari sial, sehingga pada hari itu di beberapa wilayah Kabupaten Ponorogo tidak berani menjalankan lebaran. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi menimpanya.
Sebagai contoh, dulu pada tahun 2015 tepatnya di Desa Jurug, Sooko, Ponorogo umat agama Islam menunda pelaksanaan lebaran atau idulfitri padahal pemerintah pada saat itu sudah menetapkan bahwa hari raya idulfitri jatuh pada hari itu. Alasannya karena bertepatan dengan hari Jumat Wage dan akhirnya menunda sampai keesokan harinya.
Lantas apa yang melatarbelakangi hari Jumat Wage sebagai hari naas atau sialnya masyarakat Ponorogo?
Sebagian masyarakat Ponorogo percaya bahwa hari itu bertepatan dengan peristiwa pertempuran antara Ki Ageng Kutu (Demang Suryongalam) pemimpin Kerajaan Wengker dengan Raden Bathoro Katong (Pendiri Kabupaten Ponorogo). Pada saat itu banyak sekali orang yang mati berjatuhan selama pertempuran berlangsung. Pertempuran itu berlangsung tepat pada hari Jumat Wage. Oleh karena itu, hari itu bisa disebut juga dengan hari berkabung bagi masyarakat Ponorogo. Sehingga sampai sekarang hari itu untuk menghormati orang-orang yang gugur pada pertempuran itu.
Sekilas Cerita Pertempuran Ki Ageng Kutu melawan Bathoro Katong
Latar belakang pertempuran ini terjadi yaitu karena kemarahan Ki Ageng Kutu atas meninggalnya salah satu pengikut setianya yang bernama Ki Honggolono di tangan Patih Seloaji yang tidak lain sebagai panglima perang Bathoro Katong. Atas kejadian tersebut Ki Ageng Kutu bersama prajuritnya yang berjumlah 200 ratus orang dengan bersenjata lengkap pergi ke Ponorogo untuk menyerang Bathoro Katong beserta pengikutnya tepatnya pada hari Jumat Wage. Mendengar akan adanya penyerangan yang dilakukan Ki Ageng Kutu ke Ponorogo, Bathoro Katong memerintahkan kepada seluruh pasukan dan pengikutnya untuk masuk ke dalam masjid guna berdo'a agar diberi pertolongan dan keselamatan dari Allah SWT.
Gamelan Reog ditabuh sebagai pertanda pertempuran dimulai. Supaya menghindari korban berjatuhan yang banyak, Patih Seloaji bersama pasukan lain mengambil alih dan menyerang pasukan Ki Ageng Kutu. Korban berjatuhan sangat banyak. Atas bantuan Jayadipa, Patih Seloaji berhasil memukul mundur pasukan Ki Ageng Kutu dan banyak korban berjatuhan dari kalangan pasukan lawan. Sedangkan dari pasukan Bathoro Katong ada tiga orang yang meninggal termasuk Senopati, yaitu Surowaneng meninggal di sebelah barat Dalem Kadipaten, Tranggulang Jagat sebelah utaranya dan Jatikusumo di sebelah timur. Pada pertempuran itu tidak ada yang menang dan yang kalah. Dan gagal misi Ki Ageng Kutu untuk menyerang Ponorogo.
Terlepas dari kegagalan misi Ki Ageng Kutu itu atau merupakan kepercayaan turun temurun nenek moyang bahwa hari itu dianggap sebagai hari naas atau sialnya masyarakat Ponorogo. Sehingga pada hari itu masyarakat Ponorogo tidak berani melaksanakan lebaran, dengan tujuan untuk menghormati peristiwa tersebut.
Entah kita percaya atau tidak dengan mitos bahwa hari Jumat Wage merupakan hari naas atau sialnya masyarakat Ponorogo, kita harus tetap menghargai. Kita boleh percaya dan juga boleh tidak percaya. Kalau kita tidak percaya terhadap mitos tersebut, kita harus tetap menghargai. Jangan sampai mitos itu hilang, karena itu juga termasuk kekayaan budaya yang ada di Kabupaten Ponorogo.
Untuk seluruh pemuda, mari kita lestarikan budaya ini dan jaga agar tetap ada sampai kapan pun. Mari kita telusuri sejarah daerah kita. Cintai sejarahmu.