Cerita Pendek Fiksi : Legenda Dukuh Banjarejo Ponorogo
Di wilayah pesisir utara Pulau Jawa saat ombak semakin bergejolak, batu karang yang dengan penuh keberanian menahan setiap ombak yang menerjang, lambaian pohon kelapa juga tak kalah hebatnya, menyambut kedatangan seorang pendekar sakti mandraguna. Dengan wajah yang penuh rasa keberanian, badan tegap layaknya seorang raja, derap langkah kaki yang semakin membahana, tak sedikitpun menyurutkan sikap kewibawaannya. Ialah Jayeng Singorono, seorang putra bangsawan yang disegani masyarakat Kadipaten Rembang.
Kesederhanaan, kewibawaan, dan ketegasan yang dimilikinya membuatnya bertekad untuk mengabdikan diri kepada masyarakat luas. Bukan hanya di sekitar Rembang saja, namun juga seluruh wilayah nusantara. Berbekal senjata cemethi yang setiap hari ia gunakan untuk berlatih, sehingga kelak akan melindunginya dari kejahatan. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengembara ke tenggara Pulau Jawa untuk mencari wilayah pemukiman melewati daerah pesisir pantai dengan sendirinya tanpa kawalan dari prajurit setianya.
Hari berganti hari, matahari silih berganti dengan bulan, suasana yang menantang, selalu mengiringi derap langkah kaki Jayeng Singorono saat proses mengembara. Semangat yang dimiliki dalam dada dengan harapan kelak akan mendapat kesejahteraan yang sempurna dari Tuhan, yaitu adanya kesejahteraan di sebuah pemukiman penduduk di wilayah pilihan yang akan ia buat nanti. Namun untuk mendapatkan itu tidak mudah, dia harus melewati rintangan dan halangan yang sangat sulit. Musuh di tengah jalan yang sewaktu-waktu menyerang, hewan buas yang setiap hari mengawasinya, dan sampai terancam keadaan kelaparan saat dalam perjalanan. Lelah itu pasti, tapi kalau disertai dengan niat dan tekad yang kuat akan membuahkan hasil yang diinginkan. Itulah yang selalu dilaksanakan oleh Jayeng Singorono saat proses pengembaraan.
Suatu ketika, sampailah Jayeng Singorono di wilayah yang berada tepat di lereng Gunung Lawu. “Inilah tempat yang kucari selama ini, tidak sia-sia perjalananku sampai di sini,” bahagia Jayeng Singorono. “Aku akan berusaha semampuku untuk mencari tempat yang pas dengan keinginanku, dekat dengan sumber air, dan banyak pohon tumbuh hijau.”
Mulailah ia berjalan menyusuri pepohonan lebat dan rimbun, sungai yang deras pun ia lewati. Ia terus berjalan sambil mengamati tempat yang cocok untuk dijadikan daerah pemukiman. Ketika sedang menyusuri jalan, ia terkejut dengan kedatangan seorang pemuda yang sedang mencari hewan buruan. Ia mencoba menanyainya.
“Hei! Kamu siapa dan sedang apa di hutan siang-siang ini?”
“Namaku Joko Beloh, aku disini sedang mencari hewan buruan untuk aku makan nanti sore.” jawab Joko Beloh.
Jayeng Singorono berpikir sejenak tentang anak itu, ia ingin mengasuh dia untuk dijadikan anak.
“Oooo... begitu. Kalau begitu maukah kamu ikut denganku untuk menemaniku mencari lahan untuk pemukiman?” tanya Jayeng Singorono.
“Hmmm... ok saya mau ikut denganmu. Aku ingin sekali hidup bersama orang lain, aku tidak suka hidup sendiri.” jawab Joko Beloh.
Akhirnya, Jayeng Singorono dan Joko Beloh pergi untuk melanjutkan mencari lahan untuk dijadikan pemukiman. Jayeng Singorono memberitahu kepada Joko Beloh syarat-syarat tempat yang akan dijadikan pemukiman nanti, yaitu dekat dengan sumber air dan banyak pohon tumbuh hijau.
Perjalanan beberapa hari belum menemukan tempat yang cocok. Jayeng Singorono dan Joko Beloh beristirahat dulu sambil meminum air putih. Sambil istirahat, Jayeng Singorono mempunyai ide untuk membuat minuman wedang jahe. Ia memerintah Joko Beloh untuk mencari jahe ke arah utara ia duduk isitirahat tadi. Berangkatlah si Joko Beloh tadi. Ketika sedang mencari jahe ia melihat ke arah utara ia berdiri, dilihatlah pepohonan yang sangat hijau dan ternyata dekat dengan aliran sungai. Ia teringat ucapan Jayeng Singorono tadi, kemudian langsung memberitahunya. Sedang asiknya tidur, Jayeng Singorono dikagetkan dengan kedatangan Joko Beloh.
“Aduhhh... kaget aku, nyapo kowe mlayu-mlayu ngono? Dikiter kirek pye?” kaget Jayeng Singorono.
“Nyuwun pangapuro pakne, niki wau kula ndeleng nggon sing cocok karo kriteria soko njenengan. Enek sumber air e lan enek wit-witan kang ijo royo-royo.” jawab Joko Beloh.
“Moso le? Ayo ndang mrono didelok bareng-bareng.” sahut Jayeng Singorono.
“Ayo pakne!” ajak Joko Beloh.
Pergilah keduanya ke tempat yang dibicarakan tadi. Sesampainya disana, Jayeng Singorono melihat-lihat tempat itu dengan wajah yang penuh kegembiraan. “Ini yang saya cari selama ini.” gembira Jayeng Singorono. Lalu, ia menyuruh Joko Beloh mencari kayu untuk bahan membuat gubuk. Keduanya saling bekerja sama untuk membuat gubuk sebagai tempat tinggal sementara dengan semangatnya.
Setelah gubuk selesai dibangun, keduanya bekerja sama untuk membabat pepohonan untuk dijadikan lahan untuk bermukim.
Selama beberapa hari membabat, akhirnya selesai juga. Keduanya beristirahat di gubuk yang telah dibuat tadi. Sambil menyelam minum air, sambil istirahat dimanfaatkan untuk hal yang berguna. Jayeng Singorono memikirkan nama yang akan digunakan pemukiman nanti. Akhirnya, terpilihlah kata ‘Banjarejo’, berasal dari kata ‘Banjar’ yang berarti pasar, dan ‘Rejo’ yang berarti ramai. Jadi, memiliki makna bahwa pemukiman ini kelak akan ramai seperti pasar dan rakyatnya akan sejahtera hidupnya. Berdirilah Dusun Banjarejo yang semakin lama semakin berkembang pesat.
Dan Jayeng Singorono berhasil mempersunting perempuan cantik asal Ponorogo bernama Eyang Kardinah, dan beberapa tahun ke depan berhasil memperistri Raden Ayu Ajeng Jum’at dari Bojonegoro. Semuanya hidup dengan damai dan kasih sayang.
Jayeng Singorono, Eyang Kardinah, Raden Ayu Ajeng Jum’at, dan Joko Beloh dimakamkan di bawah pohon asam di atas gundukan tanah yang bernama Lemah Geneng.
Cerita di atas berbentuk cerita fiksi yang dibalut dengan unsur sejarah yang sebenarnya terjadi di wilayah Dukuh Banjarejo, Trisono, Babadan, Ponorogo. Cocok untuk anak-anak maupun remaja. Cintai sejarahmu :)
Sumber https://rikyeka.blogspot.com/