Sejarah Dan Perkembangan Korupsi Di Indonesia
Sejarah Korupsi dari Dulu Hingga Sekarang
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Periodisasi korupsi di Indonesia secara umum dapat dibagi dua, yaitu periode pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.
A. Pra Kemerdekaan
• MASA PEMERINTAHAN KERAJAAN
- “Budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita.
- Perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati Tohjoyo Ranggawuni Mahesa Wongateleng dan seterusnya),
- Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain),
- Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang),
- Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso)
- Perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia
- Kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya.
- Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa.
- Majapahit diketahui hancur karena adanya pe¬rang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada.
- Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
• MASA KOLONIAL BELANDA
- Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC memecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
- Tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran.
- Kesultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
- Dalam buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntun¬gan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui. Hal menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis.
- Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”
- Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Tumenggung. Abdi dalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
- Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825-1830), Imam Bonjol (1821-1837), Aceh
- Lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cultuur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan. (1873-1904) dan lain-lain.
B. Pasca Kemerdekaan
• ORDE LAMA
- Dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dibentuk ber¬dasarkan UU Keadaan Bahaya, dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya.
- Pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan - istilah sekarang: daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
- Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/ Kasab dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugasnya yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di ke¬mudian hari dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan.
- Soebandrio mengumumkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya ser¬ta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
- Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi di-jalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.
• ORDE BARU
- Dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
- Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
- Perusahaan - perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Marak-nya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto.
- Dibentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, I.J Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugasnya yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
• REFORMASI
- Pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas.
- Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan ber¬bagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman,
- Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.
- Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) 33 Bab 01. Pengertian Korupsi dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyara¬kat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang tanpa bekas sama sekali.
- Di samping membubarkan TGPTPK, Presiden Gus Dur juga dianggap tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
- Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang meli¬batkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan de-ngan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate.
- Di masa pemerintahan Megawati, wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan.
- Konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pe-merintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi. Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang notabene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
- Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, dilantik menjadi Ketua KPK. KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah “good and clean governance” (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.