Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Persentuhan Awal Prancis Dan Kelautan Nusantara

Het White Huis (Gedung Putih) dibangun oleh Daendels, hari ini gedung ini difungsikan sebagai Kantor Kementerian Keuangan Indonesia merupakan pemerintahan Pemerintah Kolonial Republik Bataaf dibawah komando Prancis pada kala 19.

 - Di kala mata orang-orang modern tertuju pada sejarah panjang kolonial Belanda, ternyata orang-orang Prancis sudah masuk dalam kehidupan kelautan Nusantara pada sekitaran kala ke-16. Masa ini sama tuanya dengan masa-masa awal Belanda mencengkeramkan hegemoninya di kepulauan Nusantara. Persentuhan itu dimulai dari perjalanan awal kapal-kapal Prancis yang bertolak dari pelabuhan Normandi, Prancis. Pelayaran awal orang-orang Prancis ini merupakan pelayaran yang pertama semenjak ditemukannya jalur pelayaran melalui Samudera Pasifik pada 1519 oleh Magellan. 

Kapal-kapal yang bertolak dari Honfleur, Normandi ini dipimpin oleh seorang kapten berjulukan Verrazane. Verrazane yang optimis dengan ekspedisinya ini mengambil jalan untuk menyusuri Samudera Pasifik, namun sayang tidak beruntung menemukan Tanjung Magellan. Kapten kapal ini kemudian meneruskan perjalanannya melalui pecahan selatan Samudera Atlantik barat dan berakhir di Samudera Hindia. 

Pada titik yang gemilang ini, ternyata kondisi awak kapal tidak segemilang pencapaian Verrazane. Dengan kondisi yang serba tidak menguntungkan, awak kapal kemudian tetapkan untuk memberontak sehingga menciptakan perjalanan hanya dilanjutkan dengan satu kapal lain yang sebelumnya dipimpin Pierre Caunay. 

Pada 1527, satu kapal yang tersisa ini melihat bibir pantai Sumatra. Kapal-kapal ini kemudian berhasil berlabuh di pelabuhan besar Aceh yang pada masanya merupakan bandar dagang besar di Asia. Pertemuan awal penduduk Nusantara dengan orang-orang Prancis ini tidak berlangsung dengan mulus. Para pelaut Prancis tidak mendapat sambutan hangat dan bahkan harus mengalami pertempuran mahir yang menewaskan kapten kapal. Dengan gugurnya pimpinan ekspedisi, pelaut-pelaut ini tetapkan untuk kembali ke negeri mereka tanpa melanjutkan ekspedisi ke pulau penghasil rempah-rempah di timur. 

Dalam perjalannya ke Prancis, kapal ini kemudian terdampar di Madagaskar dan awak kapalnya melanjutkan perjalanan dengan rakit hingga ke Mozambik –hanya untuk kemudian ditangkap oleh orang-orang Portugis. Verrazane yang berhasil selamat dan kembali ke Prancis merancang satu perjalanan lagi untuk mendapat kembali orang-orangnya yang terdampar. Verrazane menyewa satu kapal berjulukan La Marie du Bon Secours di bawah pimpinan kapten De Fumay. Kapal ini kemudian mencapai Tanjung Harapan, lagi-lagi hanya untuk ditangkap oleh orang-orang Portugis yang merampas harta benda yang dimuat kapal itu. 

French and Nusantara’s Marine Initial Contact. Foto: tentanghijau.id

Persentuhan selanjutnya orang Prancis dengan orang-orang Nusantara lagi-lagi kembali diawali dari pelabuhan Prancis –kali ini di bawah pimpinan Jean dan Raoul Parmentier. Perjalanan ini disponsori oleh Jean Ango, seorang juragan kapal yang juga membiayai perjalanan Verrazane pada masa sebelumnya. Jean Ango mempunyai ambisi berpengaruh untuk menjalin kekerabatan dagang pribadi dengan kepulauan rempah-rempah di Hindia Timur. Perjalanan ini dilangsungkan dengan dua kapal –La Penseé dan Le Sacre yang lebih besar dari kapal-kapal yang dibawa oleh Verrazane. 

Pada tahun 1529, kapal-kapal ini bertolak dari pelabuhan Dieppe dan berhasil mencapai Madagaskar pada tahun yang sama. Kedua kapal ini kemudian melanjutkan perjalanan hingga berhasil menyentuh bibir pantai barat Sumatra pada Oktober 1529 dan kembali ke Prancis dalam keadaan yang sempurna. Dalam perjalanan dagangnya ini, Parmentier bersaudara melihat adanya impian kekerabatan dagang dengan orang-orang pribumi Nusantara. Hal ini diindikasikan dari adanya niat baik untuk bertukar hadiah dan makan malam bersama. Pertemuan yang dekat ini terjadi di Pulau Tiku, sebuah pulau di dekat Padang yang pada masa itu dikuasai raja berjulukan Meligica-Saga.

Dari persentuhan awal ini, kita sanggup mengenal pandangan Prancis terhadap penduduk Nusantara. Pelaut Prancis mendeskripsikan Tiku sebagai kampung nelayan miskin dengan gubug-gubug dan perkakas makan kasar. Mereka juga menyebut bahwa penduduk di sana berkulit gelap dengan air muka yang mencemaskan. Seluruh penduduk di sana bertelanjang kaki dan menggunakan pakaian dari kain katun berwarna merah, coklat atau biru tua. 

Seorang kepala desa akan menyampirkan sarong di bahunya dan menggunakan gelang emas yang berat, ia juga membawa kris yang bertahtakan emas. Penduduknya secara umum mengenakan ikat kepala atau topi jerami sebagai epilog kepala mereka. 

Dari sisi pandang pelaut Prancis, orang-orang lokal yang mereka temui tampak kotor kecuali para pejabatnya. Mereka juga memberi kita catatan perihal senjata yang dipakai penduduk lokal berupa: busur, panah, tombak dan sumpit yang dipakai untuk meniupkan panah-panah beracun, persenjataan itu juga diperlengkapi dengan tameng tebal dari kulit gajah atau kulit banteng dan kulit ular atau kulit ikan. 

Pandangan lain yang ditinggalkan para pelaut Prancis itu juga yaitu perihal wanita-wanita Nusantara –khususnya Melayu, yang mendapat reputasi sebagai wanita-wanita yang manis dan menarik. Pelaut Prancis mengakui bahwa wanita-wanita di Sumatra yang mereka temui memang sesuai dengan reputasi mereka, namun wanita-wanita itu tidak barbar dan justru harus menjaga kesucian mereka. Pelacuran ibarat yang sudah dikenal di negeri-negeri barat tidak berlaku di Sumatra. 

Hukuman-hukuman akan dijatuhkan bagi mereka-mereka yang tidak mematuhi adat. Hal ini menciptakan penduduk di Tiku dan Sumatra bersikap jujur satu sama lain. Namun, hal ini tidak berlaku dalam kekerabatan mereka dengan orang asing. 

Dari sisi pandang Prancis, wanita-wanita Tiku sangat bertanggung jawab atas aneka macam macam pekerjaan rumah hingga urusan bercocok tanam. Urusan perempuan sangat banyak sedangkan prianya hanya duduk-duduk dan bertaruh dalam permainan berkelahi ayam. Hal ini dikemukakan oleh Crignon yang segera mendapat derma dari pelaut yang tiba ke sana setelahnya. Makanan di Tiku dianggap membosankan sebab hanya terdiri dari nasi dan ikan, ayam hanya muncul pada perayaan-perayaan. Namun begitu, kawasan ini sangat kaya akan hasil buah-buahan. Selain itu, aneka satwa tropis sanggup ditemukan di sana.

Hasil dari persentuhan yang kedua ini tidak mengatakan adanya keberhasilan dalam hal janji dagang. Orang-orang di Tiku tidak mau berkompromi sehingga meninggalkan orang Prancis untuk pada alhasil harus angkat kaki dari pulau itu. Para pelaut kemudian bertolak dari Tiku dengan sedikit dagangan merica dan berhasil hingga di Dieppe pada Juli 1530. 

Demikian, dengan adanya catatan perjalanan awal Prancis ini, kita sanggup melihat pandangan yang lain daripada pandangan kolonial. Pandangan Prancis tentu saja terlepas dari adanya kepentingan politik yang mengikat orang-orang kolonial Belanda hingga Inggris yang pernah menguasai Nusantara. Dengan adanya pandangan barat yang tidak mempunyai kepentingan politik kolonial ini, sanggup ditarik kesimpulan yang lebih objektif perihal keadaan masyarakat Nusantara pada abad-abad pertengahan.

Penulis : C.Reinhart dapat dihubungi di christopher.reinhart@ui.ac.id.
Editor: Imam Maulana

Referensi
Djoened, Marwati dan Nugroho Notosusanto (ed.). 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 3. Jakarta: Balai Pustaka.
Dorléans, Bernard. 2016. Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad XVI hingga dengan kala XX. Jakarta: KPG.
Reid, Anthony. 1993. Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume 2. New Haven: Yale University.
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.