Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui Perdagangan

Kapal Dagang Belanda di Teluk Table di dermaga Tanjung Koloni di Tanjung Harapan, 1762. Foto: Iziko William Fehr Collection

- Pusat-pusat integrasi Nusantara berlangsung melalui penguasaan laut. Pusat-pusat integrasi itu selanjutnya ditentukan oleh keahlian dan kepedulian terhadap laut, sehingga terjadi perkembangan baru, setidaknya dalam dua hal, yaitu
  • Pertumbuhan jalur perdagangan yang melewati lokasi-lokasi strategis di pinggir pantai, dan 
  • Kemampuan mengendalikan (kontrol) politik dan militer para penguasa tradisional (raja-raja) dalam menguasai jalur utama dan pusat-pusat perdagangan di Nusantara. 

Jadi, prasyarat untuk sanggup menguasai jalur dan sentra perdagangan ditentukan oleh dua hal penting yaitu perhatian atau cara pandang, dan kemampuan menguasai lautan.

Jalur-jalur perdagangan yang berkembang di Nusantara sangat ditentukan oleh kepentingan ekonomi pada ketika itu dan  perkembangan rute perdagangan dalam setiap masa yang berbeda-beda. Jika pada masa praaksara hegemoni budaya mayoritas tiba dari pendukung budaya Austronesia di Asia Tenggara Daratan, maka pada masa perkembangan Hindu-Buddha di Nusantara terdapat dua kekuatan peradaban besar, yaitu Cina di utara dan India di bab barat daya. Keduanya merupakan dua kekuatan super power pada masanya dan mempunyai efek amat besar terhadap penduduk di Kepulauan Indonesia.

Bagaimanapun, peralihan rute perdagangan dunia ini telah membawa berkah tersendiri bagi masyarakat dan suku bangsa di Nusantara. Mereka secara pribadi terintegrasi ke dalam jaringan perdagangan dunia pada masa itu. Selat Malaka menjadi penting sebagai pintu gerbang yang menghubungkan antara pedagang-pedagang Cina dan pedagang-pedagang India.

Pada masa itu, Selat Malaka merupakan jalur penting dalam pelayaran dan perdagangan bagi pedagang yang melintasi bandar-bandar penting di sekitar Samudra Indonesia dan Teluk Persia. Selat itu merupakan jalan bahari yang menghubungkan Arab dan India di sebelah barat bahari Nusantara, dan dengan Cina di sebelah timur bahari Nusantara.

Jalur ini merupakan pintu gerbang pelayaran yang dikenal dengan nama “jalur sutra”. Penamaan ini dipakai semenjak kurun ke-1 M hingga kurun ke-16 M, dengan komoditas kain sutera yang dibawa dari Cina untuk diperdagangkan di wilayah lain. Ramainya rute pelayaran ini mendorong timbulnya bandar-bandar penting di sekitar jalur, antara lain Samudra Pasai, Malaka, dan Kota Cina (Sumatra Utara sekarang).

Pelayaran dan Perdagangan internasional melalui Selat Malaka. Foto: Taufik Abdullah dan A.B Lapian (2012)

Kehidupan penduduk di sepanjang Selat Malaka menjadi lebih sejahtera oleh proses integrasi perdagangan dunia yang melalui jalur bahari tersebut. Mereka menjadi lebih terbuka secara sosial ekonomi untuk menjalin korelasi niaga dengan pedagang-pedagang absurd yang melewati jalur itu. 

Di samping itu, masyarakat setempat juga semakin terbuka oleh pengaruh-pengaruh budaya luar. Kebudayaan India dan Cina ketika itu terperinci sangat kuat terhadap masyarakat di sekitar Selat Malaka. Bahkan hingga ketika ini efek budaya terutama India masih sanggup kita jumpai pada masyarakat sekitar Selat Malaka. 

Selama masa Hindu-Buddha di samping kian terbukanya jalur niaga Selat Malaka dengan perdagangan dunia internasional, jaringan perdagangan dan budaya antarbangsa dan penduduk di Kepulauan Indonesia juga berkembang pesat terutama alasannya yaitu terhubung oleh jaringan Laut Jawa hingga Kepulauan Maluku. 

Rempah-Rempah. Foto: Pinterest

Mereka secara tidak pribadi juga terintegrasikan dengan jaringan ekonomi dunia yang berpusat di sekitar Selat Malaka, dan sebagian di pantai barat Sumatra ibarat Barus. Komoditas penting yang menjadi barang perdagangan pada ketika itu yaitu rempah-rempah, ibarat kayu manis, cengkih, dan pala.

Pertumbuhan jaringan dagang internasional dan antarpulau telah melahirkan kekuatan politik gres di Nusantara. Peta politik di Jawa dan Sumatra kurun ke-7, ibarat ditunjukkan oleh D.G.E. Hall, bersumber dari catatan pengunjung Cina yang tiba ke Sumatra. Dua negara di Sumatra disebutkan, Mo-lo-yeu (Melayu) di pantai timur, tepatnya di Jambi kini di muara Sungai Batanghari. Agak ke selatan dari itu terdapat Che-li-fo-che, pengucapan cara Cina untuk kata bahasa sanskerta, Sriwijaya.

Di Jawa terdapat tiga kerajaan utama, yaitu di ujung barat Jawa, terdapat Tarumanegara, dengan rajanya yang terkemuka Purnawarman, di Jawa bab tengah ada Ho-ling (Kalingga), dan di Jawa bab timur ada Singhasari dan Majapahit.

Selama periode Hindhu-Buddha, kekuatan besar Nusantara yang mempunyai kekuatan integrasi secara politik, sejauh ini dihubungkan dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit. Kekuatan integrasi secara politik di sini maksudnya yaitu kemampuan kerajaan-kerajaan tradisional tersebut dalam menguasai wilayah-wilayah yang luas di Nusantara di bawah kontrol politik secara longgar dan menempatkan wilayah kekuasaannya itu sebagai kesatuan-kesatuan politik di bawah pengawasan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan demikian pengintegrasian antarpulau secara lambat laun mulai terbentuk.

Kerajaan utama yang disebutkan di atas berkembang dalam periode yang berbeda-beda. Kekuasaan mereka bisa mengontrol sejumlah wilayah Nusantara melalui banyak sekali bentuk media. Selain dengan kekuatan dagang, politik, juga kekuatan budayanya, termasuk bahasa.

Interelasi antara aspek-aspek kekuatan tersebut yang menciptakan mereka berhasil mengintegrasikan Nusantara dalam pelukan kekuasaannya. Kerajaan-kerajaan tersebut berubah menjadi kerajaan besar yang menjadi representasi pusat-pusat kekuasaan yang kuat dan mengontrol kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di Nusantara.

Hubungan sentra dan kawasan hanya sanggup berlangsung dalam bentuk korelasi hak dan kewajiban yang saling menguntungkan (mutual benefit). Keuntungan yang diperoleh dari sentra kekuasaan antara lain, berupa legalisasi simbolik ibarat kesetiaan dan pembayaran upeti berupa barang-barang yang dipakai untuk kepentingan kerajaan, serta barang-barang yang sanggup diperdagangkan dalam jaringan perdagangan internasional. 

Sebaliknya kerajaan-kerajaan kecil memperoleh proteksi dan rasa aman, sekaligus pujian atas korelasi tersebut. Jika sentra kekuasaan sudah tidak mempunyai kemampuan dalam mengontrol dan melindungi kawasan bawahannya, maka sering terjadi pembangkangan dan semenjak itu kerajaan besar terancam disintegrasi. 

Kerajaan-kerajaan kecil kemudian melepaskan diri dari ikatan politik dengan kerajaan-kerajaan besar usang dan beralih loyalitasnya dengan kerajaan lain yang mempunyai kemampuan mengontrol dan lebih bisa melindungi kepentingan mereka. 

Sejarah Indonesia masa Hindu-Buddha ditandai oleh proses integrasi dan disintegrasi semacam itu. Namun secara keseluruhan proses integrasi yang lambat laun itu kian mantap dan kuat, sehingga kian mengukuhkan Nusantara sebagai negeri kepulauan yang dipersatukan oleh kekuatan politik dan perdagangan.

Rujukan:

Taufik Abdullah dan A.B Lapian (ed). 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid 3. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Departemen Pariwisata RI. 2011. Pameran Sejarah-Budaya Asia Tenggara: Sriwijaya, sebuah Kejayaan masa kemudian di Asia Tenggara, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Direktorat Tinggalan Purbakala.
Kartodirdjo,Sartono dkk, 2012, 700 Tahun Majapahit suatu Bunga Rampai, Dinas Pariwisata Daerah propinsi Daerah Jawa Timur.