Kehidupan Masyarakat Mesir Kuno
Foto: theancientweb.com
- Bangsa Mesir Kuno hidup disepanjang tepi Sungai Nil yang mengalir kurang lebih sepanjang 6.400 kilometer. Pada awalnya Sungai Nil bukanlah tempat yang baik untuk bermukim dan melangsungkan kehidupan. Setiap tahun hujan dengan intensitas tinggi selalu menguyur pegunungan di sebelah selatan Mesir Kuno dan mengairi deras air dari hulu ke hilir Sungai Nil, keadaan ini menciptakan tempat fatwa sungai di sekitar sungai sering terkena banjir rob.
Sungai Nil dibuat oleh dua sungai besar yang menyatu, yang bermata air di Ethiopia dan yang bersumber dari fatwa di Uganda. Kedua sungai ini bersatu di Khartoum dan menjadi Nil yang sesungguhnya. Meskipun Herodotus menyampaikan bahwa Sungai Nil yaitu hadiah bagi bangsa Mesir Kuno , akan tetapi Herodotus juga mengatakan, “Jika Nil merendam tanah tersebut, seluruh Mesir Kuno menjadi lautan.” Banjir yang sedemikian rupa, menjadikan wilayah tersebut tidak berpenghuni.
Ketika Mesir Kuno pada ketika itu belum layak huni, terdapat kehidupan di pesisir Laut Merah, mereka yang kelak menjadi pemukim pertama di Mesir Kuno. Mereka kemudian melaksanakan migrasi ke Sahara yang pada ketika itu beriklim lembab. Iklim tersebut menciptakan Sahara pada waktu itu sanggup di tumbuhi oleh rumput, tumbuh-tumbuhan, dan berair. Sekitar tahun 5000-4000 SM, terdapat perubahan contoh iklim yang meyebabkan daratan Mesopotamia menjadi kering, sehingga berdampak juga pada wilayah Sahara.
Penduduk dari Sahara kemudian berpindah ke timur menuju lembah Sungai Nil yang terairi. Pengungsi tersebut kemudian mendirikan pemukiman pertama di lembah Sungai Nil dan menjadi orang pertama yang mendiami wilayah tersebut.
Untuk mengatasi banjir tahunan yang melanda tempat sekitar Sungai Nil, mereka menggali penampungan air untuk mengurai banjir. Penampungan ini juga mempunyai kegunaan sebagai tempat penyimpanan cadangan air yang akan dipakai untuk mengairi ladang-ladang, pertanian, minum orang dan binatang ternak ketika dilanda musing kering, hal ini dikarenakan demam isu pengujan tidak terjadi sepanjang tahun.
Ketika demam isu hujan datang dan membanjiri pemukiman, masyarakat Mesir Kuno menebang pohon palem untuk menciptakan perahu. Perahu tersebut dipakai orang Mesir Kuno untuk berpergian berlalu-lalang menyusuri rumah-rumah.
Penduduk Mesir Kuno terdiri dari tiga ras , yakni ras Mediteran, ras Negroid, dan ras Cromagnoid . Mereka membangun pemukiman di kedua tepi Sungai Nil sepanjang hulu dan hilir. Untuk bertahan hidup orang Mesir Kuno menanam biji-bijian, gandung, dan anggur ketika banjir surut dan menciptakan tanah di tepi sungai menjadi gembur.
Berburu juga menjadi kehidupan orang Mesir Kuno, jenis-jenis ikan dan burung menjadi objek buruan. Mulai-mula orang Mesir Kuno berburu sapi liar dan kambing, namun kemudian menernaknya. Orang-orang Mesir Kuno mendapat semua kebutuhan pokoknya di Sungai Nil: binatang buruan, ikan, emas, tembaga, rama, dan papirus.
Meskipun kebutuhan hidup mereka telahr terpenuhi, bangsa Mesir Kuno juga melaksanakan perdagangan untuk mendapat barang tersier yang mereka butuhkan. Orang Mesir Kuno berdagang ke barat untuk mendapat gading, ke timur untuk mendapat kerang, dan ke barat untuk mendapat batuan berharga sebagai perhiasan.
Penggolongan Orang Mesir Kuno. Foto: www.nemo.nu
Kehidupan sosial bangsa Mesir Kuno cenderung teratur. Mereka mengenal pembagian tugas. Pembagian kiprah ini yang kemudian mengakibatkan masyarakat Mesir Kuno terbagi atas tingkatan sosial (strata). Strata tertinggi yaitu diawali dari Fir’aun dan bangsawan, menengah mereka yang berprofesi sebagau para pedagang, petani, buruh perkotaan, sedangkan budak-budak merupakan tingkatan terendah.
Stratifikasi Masyarakat Mesir Kuno. Foto: www.q-files.com
Stratifikasi sosial di Mesir Kuno dibangun menurut pekerjaan yang mereka lakukan. Meskipun sebagian besar masyarakat Mesir Kuno yaitu petani, akan tetapi profesi tersebut bukan berada pada tingkatan tertinggi, Seniman dan pengrajin patung memunyai status yang lebih tinggi dari petani. Diatas keduanya juru tulis merupakan kelas tertinggi pada masyarakat Mesir Kuno, mereka menempati kelas yang disebut kulit putih, ditandai dengan linen berwarna putih yang menandai status mereka.
Tidak diketahui kapan agama menjadi belahan dari kehidupan masyarakat Mesir Kuno. Namun bangsa Mesir Kuno sanggup disejajarkan dengan bangsa-bangsa lain dalam kehidupan zaman neolitikum. Bangsa-bangsa yang ada sadar bahwa mereka tidak sanggup mengatur kekuatan-kekuatan yang diluar kekuatan jasmani mereka, seperti: mengatur demam isu kering atau hujan, menghalau terpaan angin, atau menghendaki pasang dan surutnya air laut.
Keadaan ini pula yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat Mesir Kuno. Mereka melihat agama sejauh efek sungai dan kekuatan alam di sekitar mereka sebagai proyeksi kekuatan-kekuatan mistik yang mempengaruhi kehidupan mereka. Simbolisme tersebutkemudian muncul sebagai dampak dari proyeksi yang dilakukan masyarakat Mesir Kuno dari apa yang mereka lihat, menyerupai memproyeksikan burung sebagai kemampuan untuk terbang, singa sebagai lambang kekuatan, atau ular sebagai lambang kecerdasan dan misterius.
Ini pun kuat pada dewa-dewa yang menjadi belahan dari kepercayaan politeisme bangsa Mesir Kuno. Dewa-dewa mereka digambarkan sesuai dengan apa yang mereka simbolisasikan, menyerupai Sekmet yang diwujudkan berbadan perempuan berkepala singa, atau Sobek yang berbadan perempuan berkepala buaya. Bangsa Mesir Kuno mengenal banyak dewa-dewi. Dewa-dewi tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu dewa-dewi yang bersifat nasional, artinya disembah seluruh rakyat Mesir Kuno. Ada pula dewa-dewi yang bersifat lokal, artinya disembah rakyat Mesir Kuno dari kalangan tertentu dan di wilayah tertentu saja.
Meskipun terbagi menjadi dua, secara umum masyarakat Mesir Kuno memuja dewa-dewa seperti: Amun: raja para dewa, Re: yang kuasa matahari, Shu: yang kuasa udara, Set: yang kuasa gurun, badai, dan bencana, Osiris: yang kuasa hakim di alam baka, Min: yang kuasa kesuburan, Khonsu: yang kuasa bulan, Anubis: yang kuasa kematian, Ma’at: dewi keadilan dan kebenaran.
Kepercayaan bangsa Mesir Kuno juga kuat pada pandangan rakyat terhadap penguasanya, yaitu Firaun. Firaun dianggap sebagai keturunan yang kuasa tertinggi. Hal ini lah yang menciptakan rakyat Mesir Kuno begitu memujanya. Orang Mesir Kuno kemudian membangun piramida yang diperuntukan untuk makam sang Firaun. Orang Mesir Kuno juga percaya dengan mengawetkan jasad Firaun, roh mereka akan tetap hidup bersama masyarakat Mesir Kuno menyerupai biasanya.
Oleh alasannya yaitu itu di dalam piramida tersedia ruang-ruang berisi pakaian, beserta embel-embel dan barang yang disukai Firaun semoga sanggup dipergunakan oleh rohnya. Di dinding-dinding piramid juga terlukiskan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan kehidupan semasa hidupnya.
Daftar Rujukan:
Daftar Rujukan:
Gombrich, Ernst. H. 2015. Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda. Tangerang Selatan: Marjin Kiri
Daldjoeni, N. 1995. Geografi Kesejarahan I Peradaban Dunia. Bandung: Penerbit Alumni
Bauer, Susan Wise. 2010. Sejarah Dunia Kuno: Dari Cerita-Cerita Tertua hingga Jatuhnya Roma. Terj. Aloysius Prasetya. Jakarta: Elex Media Komputindo
Holland, Julian. 2009. Ensiklopedia Sejarah dan Budaya: Sejarah Dunia Jilid I. Terj. Nino Oktorino. Jakarta: Lentera Abadi
Casson, Lionel. 1972. Mesir Kuno: Abad Besar Manusia. Terj. Murad. Jakarta: Tira Pustaka
Toynbee, Arnold. 2007. Sejarah Umat Manusia. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar