Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Demokrasi Semu Pemilu 1971

Presiden Soeharto dan Ibu Tien menuju tempat pemungutan bunyi pada Pemilu 1971, tanggal 5 Juli 1971. HENDRANTO/Arsip Kompas

Empat tahun sesudah resmi menggantikan Soekarno sebagai Presiden RI, Soeharto menggelar pemilu pada 5 Juli 1971. Hajatan politik nasional itu menentukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat provinsi dan kabupaten. Ini pemilu pertama pada masa Orde Baru.

Total ada 10 partai politik yang bertarung kali ini dan hanya delapan parpol yang meraih kursi. Muncul dua partai baru, adalah Golongan Karya (Golkar) dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Beberapa parpol pada Pemilu 1955 tak lagi ikut serta alasannya dibubarkan, menyerupai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pemilu memakai sistem proporsional dengan daftar tertutup dan semua dingklik terbagi habis di setiap kawasan pemilihan. Golkar menang dengan mengantongi 62,8 persen bunyi (236 dingklik DPR). Disusul Nahdlatul Ulama (NU) dengan 18,6 persen bunyi (58 kursi), Parmusi dengan 5,3 persen bunyi (24 kursi), Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan 6,9 persen bunyi (20 kursi), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dengan 2,3 persen bunyi (10 kursi).

Menurut sejarawan Anhar Gonggong, Golkar sudah diperkirakan bakal menang secara merata meski gres kali pertama ikut pemilu. Sekretariat Bersama Golkar dijadikan kendaraan politik Soeharto. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan seluruh jaringannya, pegawai negeri sipil (PNS), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), serta birokrasi di semua tingkat menjadi alat untuk memobilisasi rakyat dari sentra hingga ke desa-desa semoga menentukan Golkar.

Soeharto dengan banyak sekali cara, kata Anhar, berusaha melemahkan kekuatan parpol besar lain sambil membesarkan Golkar. Soal nama, misalnya, tidak dipakai istilah ”partai”, tetapi ”golongan”. Padahal, dalam praktiknya, Golkar jelas-jelas partai politik. Mulai tumbuh gagasan Dwifungsi ABRI sebagai kekuatan militer sekaligus politik mudah penyokong Orde Baru.

Struktur panitia pemilu diduduki para pejabat pemerintahan, terutama dari Departemen Dalam Negeri. Saat hari pencoblosan, tempat pemungutan bunyi (TPS) dijaga
ketat polisi dan tentara. Saat itulah, mulai dikenal istilah ”seranga fajar”, adalah pertolongan uang kepada warga pada pagi hari sebelum tiba ke TPS semoga mencoblos partai pemerintah. Dengan semua manuver itu, walhasil Golkar pun menang telak.

Tujuan Pemilu 1971 sesungguhnya baik, adalah membuat kehidupan politik bangsa Indonesia yang demokratis sesudah bencana politik 30 September 1965. ”Sayangnya, pemilu direkayasa dengan cara-cara yang justru antidemokrasi. Berbagai hukum dan tata cara dimanipulasi untuk memenangkan Golkar sebagai mesin politik rezim Orde Baru. Inilah pseudo democracy atau demokrasi semu yang mengelabui rakyat,” kata Anhar, yang dikala itu menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Dalam Pemilu 1971, beberapa partai masih memperoleh bunyi cukup tidak mengecewakan alasannya bisa mempertahankan pendukung tradisionalnya. NU masih punya basis besar lengan berkuasa di pedesaan, menyerupai di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan. Parmusi, yang seakan merupakan penjelmaan dari politik eksponen Masyumi, masih berakar di masyarakat Islam perkotaan.

Menang pada Pemilu 1955, NI justru anjlok suaranya pada 1971. Partai ini mendapatkan tuduhan terkait PKI—yang dikambinghitamkan dalam Peristiwa 30 September 1965. Basis pendukung nasionalisnya, terutama di Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara, digerogoti oleh Golkar.

Kemenangan Golkar dijadikan alat untuk melegitimasi rezim Orde Baru. Manuver politik demokrasi semu ala Pemilu 1971 lantas dikembangkan oleh Orde Baru untuk pemilu-pemilu berikutnya, bahkan dengan
cara-cara lebih frontal.

”Tak ada pemilu yang benar-benar demokratis selama Orde Baru. Semua sudah direkayasa dan tidak mencerminkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya,” kata Anhar Gonggong.


Sumber: Kompas. 11 Januari 2014. Pemilu 1971, Demokrasi Semu