Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masyarakat Indonesia Di Kala Eeuwwisseling


Masyarakat Indonesia selalu menjadi topik bahasan yang menarik dalam sejarah. Sejarah selalu sanggup menemukan topiknya dalam celah-celah kehidupan masyarakat Indonesia. Satu episode yang amat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia ialah masa-masa eeuwisseling. Istilah ini ialah sebuah istilah bahasa Belanda untuk menyebut masa pergantian abad. 

Tentu tidak kita lupakan dari ingatan bahwa gerakan kebangsaan Indonesia berawal dari masa ini. Pergantian dari masa ke-19 menuju masa ke-20 memperlihatkan suatu perubahan sifat usaha kebangsaan dari fisik menjadi diplomatik dan dari kedaerahan menjadi nasional. Organisasi pergerakan kebangsaan semacam Boedi Oetomo, Sarekat Islam dan lainnya mengambil tempat di sekitaran awal masa ke-20. 

Pada titik ini pula, catatan-catatan kolonial menampakkan bahwa gejala influensi Islam yang gres akan segera menerpa Indonesia dari Kairo dan Mekkah. Gerakan ini oleh kaum Eropa dipandang sebagai gerakan modernisme Islam –yang pada masa awalnya dibabarkan oleh Syekh Mohammed Abdoe di Kairo. 

Gerakan modernisme yang dibabarkannya itu mengandung tujuan untuk mengembalikan anutan Islam pada Qur’an dan Hadist serta menginginkan suatu pemisahan dari ajaran-ajaran yang tidak bersumber dari dua sumber anutan Islam itu. Sedangkan dari Mekkah, anutan yang kira-kira serupa juga dibawa oleh murid-murid Syekh Achmad Khatib dari Minangkabau. Demikianlah anutan yang demikian itu berkembang di kalangan masyarakat bumiputra melalui para peziarah (haji) dan siswa-siswa (santri) yang berguru ke Timur Tengah. 

Influensi dari ajaran-ajaran ini secara tidak pribadi juga kemudian menjadi pemicu semangat pendirian organisasi-organisasi kebangsaan yang berlandaskan keagamaan –Islam pada khususnya. Keunggulan dari organisasi semacam ini ialah pada batasan keanggotaannya –Boedi Oetomo yang dipandang masih mengandung unsur kedaerahan tentu hanya terbatas pada kalangan etnis atau suku tertentu, namun organisasi keagamaan sanggup menaungi majemuk etnis dan suku. Aftermath yang didapatkan dari semangat Islam modern pada masa pergantian masa ini sanggup kita lihat dalam catatan sejarah. 

Organisasi-organisasi Islam turut serta dalam usaha kebangsaan dan pembentukan Republik Indonesia –baik itu terbebas dari pemerintah Hindia Belanda maupun pendudukan Jepang. Dorongan semangat yang oleh penulis akan disebut sebagai semangat eeuwwisseling ini sudah tentu terang wujudnya ialah pinjaman bagi kebebasan bangsa Indonesia dari tekanan kolonialis dan imperialis. 

Tidak hanya terbatas pada golongan Islam, semangat eeuwwisseling juga kemudian terlihat pada golongan lainnya –di mana pendirian banyak sekali organisasi dengan banyak sekali macam basis menjadi amat terasa dan secara pribadi menciptakan babak gres bagi pemerintah Hindia Belanda. 

Di samping klarifikasi di atas, tidak pula sanggup kita lupakan bahwa semangat eeuwwisseling itu tidak hanya terbatas pada masyarakat Indonesia. Wujud dari kondisi pergantian masa itu secara lebih besar sanggup kita lihat pada pecahnya Perang Dunia Pertama –eeuwwisseling selain menjadi tanda tumbuhnya semangat kebangsaan juga ialah tanda zaman ketidakpastian. 

Perang Dunia Pertama ialah wujud kasatmata perkembangan militerisme, imperialisme dan nasionalisme berlebih yang berkembang di antara masyarakat dan pemimpin negara-negara agresor di masa itu. Perang itu kemudian menjadi salah satu perang paling merusak di dunia dengan korban lebih dari tiga puluh juta jiwa. 

Suatu refleksi kemudian sanggup kita buat dari peristiwa-peristiwa pada masa pergantian abad, bahwa sudah tidak absurd lagi jika ada suatu gerakan perubahan di masa pergantian masa lainnya. Hal ini barangkali yang terlihat di Indonesia pada masa belakangan. Suatu semangat keagamaan yang kiranya gres kemudian muncul dan menjadi massif. Semangat yang demikian itu sanggup saja menjadi semangat eeuwwisseling yang baru. 

Namun, perlu pula kita kemudian merefleksikan lebih dalam lagi bahwa apakah semangat itu ialah semangat membangun negeri menyerupai yang ditunjukkan masyarakat Indonesia di masa kolonial Hindia Belanda atau semangat itu akan mewujud pada tindakan yang merusak menyerupai yang digambarkan oleh Perang Dunia Pertama. Tugas sejarah ialah untuk menumbuhkan rasa nasionalisme yang berpengaruh dan mengakar dalam hati masyarakat, demikian juga memperlihatkan pukulan telak bagi ancaman-ancaman kebangsaan yang barangkali muncul dari masyarakat itu sendiri. 

Refleksi ini kemudian harusnya mengakibatkan kita –insan yang terus menerus berguru sejarah bangsa ini, menjadi maklum dan tidak mengalami keterkejutan yang luar biasa dalam masa pergantian masa yang sedang kita alami bersama. Akankah masa pergantian masa ini menjadi penguat persatuan masyarakat Indonesia –seperti pada masa kolonial Hindia Belanda? atau justru meninggalkan luka yang tidak terlupakan menyerupai Perang Dunia Pertama?

Penulis : C.Reinhart dapat dihubungi di christopher.reinhart@ui.ac.id.
Editor: Imam Maulana

Referensi
Aveling, Harry (ed.). 1979. The Development of the Indonesian Society. St. Lucia: University of Queensland Press.
D. M. G. Koch. 1950. Om de Vrijheid: De Nationalistische Beweging in Indonesie. Jakarta: Pembangunan. 
De Jong, L. 1984. Het Koninkrijk Der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog. ‘s-Gravenhage: SDU Uitgeverij. 
Van Goor, J. 1994. De Nederlandse Kolonien, Geschiedenis van de Nederlandse Expansie, 1960-1975. ‘s-Gravenhage: SDU Uitgeverij. 
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.