Ternyata Samurai Berperang Tanpa Perlu Mencabut Pedangnya..
Samurai begitu identik dengan pedang sampai-sampai sebutan yang sama melekat juga pada pedang yang mereka bawa. padahal Samurai ialah sebutan untuk kasta militer, sedangkan pedangnya berjulukan Katana atau Tachi. demikian juga sering terjadi salah paham mengenai Samurai dan pedangnya yang dianggap sebagai senjata utama atau senjata satu-satunya. padahal samurai mempunyai banyak senjata lainnya.
Pada era kuno dan awal sejarah Samurai, kebanyakan pertempuran dilakukan tanpa seorang kesatria perlu mencabut gagang pedangnya. sejarah mencatat semenjak keluar dari jaman purbakala kaum pejuang di Jepang mempunyai senjata andalan yakni busur dan panah. senjata ini dianggap ideal lantaran bisa menyerang lawan dari jarak jauh tanpa harus membahayakan diri sendiri. orang yang bisa memakai senjata ini dengan mahir akan sangat dihargai.
Inilah salah satu faktor lahirnya kaum Bushi yang menjadi cikal bakal kasta Samurai. faktor lainnya ialah budidaya kuda yang semakin berkembang sehingga menciptakan adanya 2 keahlian yang dianggap berharga bagi seorang kesatria, berkuda dan panahan. seorang yang bisa melaksanakan panahan dari atas kuda dinilai sebagai kesatria ideal. selama beberapa kurun kaum Bushi berkuda dengan senjata panahan merajai konflik di seantero negeri Jepang.
Batasan populasi pada era kuno menciptakan konflik yang terjadi pada era tersebut hanya melibatkan sejumlah kecil prajurit. sekedar ratusan orang pada setiap kubu sehingga barisan infantri semacam phalanx menjadi kurang efektif. hal ini menciptakan kavaleri ringan kaum Bushi yang bersenjatakan busur-panah menjadi sangat efektif. dikala ini kaum Bushi tersebut mulai dikenal sebagai Samurai lantaran mendapatkan perintah (menjadi abdi) dari penguasa lokal dan daerah.
Dalam pertempuran mobilitas dari kuda menciptakan mereka bisa menghampiri dan menyerang barisan lawan dengan mudah. infantri yang tidak seberapa besar hanya bisa membentuk deretan bulat dengan perisai kayu untuk bertahan dari serangan panah. para Samurai berkuda akan terus memperlihatkan tekanan dengan memanah dan menunggang kuda semakin akrab dengan barisan infantri semoga lawan terpancing mengejar mereka.
Prajurit pejalan kaki yang terpancing mengejar akan tewas dihabisi lantaran walaupun tampak tidak cepat tetapi kuda mempunyai stamina yang jauh lebih baik. Samurai berkuda sesudah menjaga jarak bisa menghadiahi pengejar mereka yang kelelahan dengan panah. ada pesan yang tersirat kuno bahwa seorang pelari terbaik pun tidak akan bisa mengejar seekor kuda, bahkan pemain tombak dan pedang terbaik pun tidak bisa bergerak lebih cepat daripada anak panah.
Satu-satunya yang bisa menghadapi Samurai berkuda ialah sesamanya Samurai berkuda. dalam perang menang-kalah suatu pihak diputuskan oleh hasil duel panahan antar Samurai. kubu yang kehilangan pasukan berkudanya dipastikan menjadi pihak yang kalah lantaran infantri yang tersisa hanya akan menjadi korban dari tembakan panah para Samurai tanpa bisa balas menyerang. mundur pun tidak bisa lantaran terus dikejar dan ditembaki panah dari jauh.
Masa keemasan Samurai berkuda dengan busur dan panah berakhir seiringan dengan naiknya populasi. surplus pangan akhir dari reformasi pertanahan menciptakan banyak tenaga kerja yang bisa dipakai sebagai prajurit. ditambah lagi dengan membaiknya produktivitas lahan sehingga para tuan tanah atau Daimyo bisa memberi makan prajurit dalam jumlah besar. hal ini menciptakan jumlah pasukan dalam pertempuran membengkak dari ratusan hingga ribuan dan puluhan ribu.
Belasan ribu pasukan infantri bisa membentang luas menyerupai phalanx yunani sehingga bisa menghalangi gerak pasukan berkuda bagaikan tembok raksasa. mobilitas pasukan berkuda menjadi kurang berkhasiat lantaran tidak bisa leluasa bergerak. pada periode ini mulai dikenal Samurai model lain yakni Samurai pejalan kaki. kasta kesatria berubah fungsi menjadi hebat pertempuran jarak akrab antar barisan infantri, tetapi senjata pilihan mereka bukanlah pedang.
Pada masa peperangan besar (Sengoku Jidai) yang menjadi senjata pilihan Samurai pejalan kaki ialah Yari atau tombak. bisa berjenis naginata khas Jepang dengan mata menyerupai pisau besar atau mata tombak model lainnya. tombak berkhasiat untuk menghadang pasukan berkuda juga sangat efektif dalam pertempuran melawan sesama infantri. berbeda dengan bangsa lainnya di Jepang keterbatasan fisik dari kuda mereka menciptakan evolusi ke arah kavaleri berat tidak terjadi.
Tombak menjadi senjata pilihan lantaran mempunyai jangkauan yang lebih daripada senjata sejenis pedang. tentu busur dan panah masih terus dipakai tetapi barisan infantri dikala itu sudah demikian rapat dan memakai pelindung kayu sehingga efektivitas dari anak panah merosot drastis. apalagi alat sumbangan langsung semakin umum dan dipakai secara luas, dikala itu prajurit rendahan sekalipun sudah mempunyai helm logam dan body armor.
Alasan lainnya ialah kekuatan dalam penggunaan tombak yang jauh lebih besar lantaran bisa dipakai dengan dua tangan secara maksimal. panjang batang tombak juga memperlihatkan area kontrol yang lebih baik serta momentum yang lebih berisi daripada pedang. tombak juga berkhasiat untuk menghalau musuh semoga tidak mendekat sehingga apabila dikehendaki suatu deretan bisa bertahan tanpa personilnya harus terjebak dalam duel perorangan.
Lalu apakah pedang betul-betul tidak digunakan?
Pada jaman itu pedang berperan sebagai senjata sumbangan langsung lantaran jarak jangkaunya yang begitu pendek. baik Katana ataupun Tachi gres dipakai dikala senjata lain sudah rusak (hilang) atau ada lawan yang berhasil mendekat sehingga tombak menjadi kurang berguna. pedang dinilai sebagai sebuah senjata darurat yang situasional, hanya dikala terdesak dan kegunaannya juga terbatas sehingga dalam pertempuran belum tentu digunakan.
Tidak hanya soal pedang yang bukan merupakan senjata utama ataupun senjata 1-1 nya bagi seorang Samurai, pada era yang sama mereka juga tidak mempunyai hukum baku perihal senjata yang boleh atau dilarang digunakan. segala jenis senjata dari crossbow hingga meriam eropa sah-sah saja dipakai oleh mereka tanpa harus aib atau kehilangan kehormatan. kultus terhadap pedang gres terjadi di era keshogunan Tokugawa sesudah peperangan berakhir.
Hal itupun lebih bersifat filosofis daripada praktis. disebabkan oleh masa tenang yang menciptakan para Samurai menganggur hasilnya mereka berusaha mencari jadi diri sebagai pembenaran atas kehadirannya sebagai atasan dari kelas sosial lainnya. muncullah arahan bushido yang menekankan pada kehormatan, kepatuhan, dan loyalitas yang membedakan mereka dari lapisan masyarakat lainnya. berujung pada tradisi seppuku atau harkiri daripada menanggung malu.
Pedang Katana menjadi simbol dari ajaran perihal kehormatan tersebut. padahal sebelum era Tokugawa melarikan diri dari perang saja lumrah dilakukan oleh Samurai apabila perang tidak sanggup dimenangkan. masih ada hari esok pikir mereka daripada mati konyol memaksakan perang yang sudah niscaya kalah. tipu tipu daya pun lumrah untuk dilakukan, boleh dibilang Samurai yang bekerjsama tidak terbelenggu oleh ajaran konyol semacam itu.
Pemimpin Jepang kuno terlihat bersenjatakan pedang bersama dengan busur dan panah. |
Pada era kuno dan awal sejarah Samurai, kebanyakan pertempuran dilakukan tanpa seorang kesatria perlu mencabut gagang pedangnya. sejarah mencatat semenjak keluar dari jaman purbakala kaum pejuang di Jepang mempunyai senjata andalan yakni busur dan panah. senjata ini dianggap ideal lantaran bisa menyerang lawan dari jarak jauh tanpa harus membahayakan diri sendiri. orang yang bisa memakai senjata ini dengan mahir akan sangat dihargai.
Inilah salah satu faktor lahirnya kaum Bushi yang menjadi cikal bakal kasta Samurai. faktor lainnya ialah budidaya kuda yang semakin berkembang sehingga menciptakan adanya 2 keahlian yang dianggap berharga bagi seorang kesatria, berkuda dan panahan. seorang yang bisa melaksanakan panahan dari atas kuda dinilai sebagai kesatria ideal. selama beberapa kurun kaum Bushi berkuda dengan senjata panahan merajai konflik di seantero negeri Jepang.
Batasan populasi pada era kuno menciptakan konflik yang terjadi pada era tersebut hanya melibatkan sejumlah kecil prajurit. sekedar ratusan orang pada setiap kubu sehingga barisan infantri semacam phalanx menjadi kurang efektif. hal ini menciptakan kavaleri ringan kaum Bushi yang bersenjatakan busur-panah menjadi sangat efektif. dikala ini kaum Bushi tersebut mulai dikenal sebagai Samurai lantaran mendapatkan perintah (menjadi abdi) dari penguasa lokal dan daerah.
Seorang samurai di kurun pertengahan dengan busur dan panah |
Dalam pertempuran mobilitas dari kuda menciptakan mereka bisa menghampiri dan menyerang barisan lawan dengan mudah. infantri yang tidak seberapa besar hanya bisa membentuk deretan bulat dengan perisai kayu untuk bertahan dari serangan panah. para Samurai berkuda akan terus memperlihatkan tekanan dengan memanah dan menunggang kuda semakin akrab dengan barisan infantri semoga lawan terpancing mengejar mereka.
Prajurit pejalan kaki yang terpancing mengejar akan tewas dihabisi lantaran walaupun tampak tidak cepat tetapi kuda mempunyai stamina yang jauh lebih baik. Samurai berkuda sesudah menjaga jarak bisa menghadiahi pengejar mereka yang kelelahan dengan panah. ada pesan yang tersirat kuno bahwa seorang pelari terbaik pun tidak akan bisa mengejar seekor kuda, bahkan pemain tombak dan pedang terbaik pun tidak bisa bergerak lebih cepat daripada anak panah.
Satu-satunya yang bisa menghadapi Samurai berkuda ialah sesamanya Samurai berkuda. dalam perang menang-kalah suatu pihak diputuskan oleh hasil duel panahan antar Samurai. kubu yang kehilangan pasukan berkudanya dipastikan menjadi pihak yang kalah lantaran infantri yang tersisa hanya akan menjadi korban dari tembakan panah para Samurai tanpa bisa balas menyerang. mundur pun tidak bisa lantaran terus dikejar dan ditembaki panah dari jauh.
Olah raga panahan berkuda, Yabusame yang masih dilestarikan hingga zaman modern |
Masa keemasan Samurai berkuda dengan busur dan panah berakhir seiringan dengan naiknya populasi. surplus pangan akhir dari reformasi pertanahan menciptakan banyak tenaga kerja yang bisa dipakai sebagai prajurit. ditambah lagi dengan membaiknya produktivitas lahan sehingga para tuan tanah atau Daimyo bisa memberi makan prajurit dalam jumlah besar. hal ini menciptakan jumlah pasukan dalam pertempuran membengkak dari ratusan hingga ribuan dan puluhan ribu.
Belasan ribu pasukan infantri bisa membentang luas menyerupai phalanx yunani sehingga bisa menghalangi gerak pasukan berkuda bagaikan tembok raksasa. mobilitas pasukan berkuda menjadi kurang berkhasiat lantaran tidak bisa leluasa bergerak. pada periode ini mulai dikenal Samurai model lain yakni Samurai pejalan kaki. kasta kesatria berubah fungsi menjadi hebat pertempuran jarak akrab antar barisan infantri, tetapi senjata pilihan mereka bukanlah pedang.
Pada masa peperangan besar (Sengoku Jidai) yang menjadi senjata pilihan Samurai pejalan kaki ialah Yari atau tombak. bisa berjenis naginata khas Jepang dengan mata menyerupai pisau besar atau mata tombak model lainnya. tombak berkhasiat untuk menghadang pasukan berkuda juga sangat efektif dalam pertempuran melawan sesama infantri. berbeda dengan bangsa lainnya di Jepang keterbatasan fisik dari kuda mereka menciptakan evolusi ke arah kavaleri berat tidak terjadi.
Samurai membawa tombak atau naginata sebagai senjata pegangan wajib |
Tombak menjadi senjata pilihan lantaran mempunyai jangkauan yang lebih daripada senjata sejenis pedang. tentu busur dan panah masih terus dipakai tetapi barisan infantri dikala itu sudah demikian rapat dan memakai pelindung kayu sehingga efektivitas dari anak panah merosot drastis. apalagi alat sumbangan langsung semakin umum dan dipakai secara luas, dikala itu prajurit rendahan sekalipun sudah mempunyai helm logam dan body armor.
Alasan lainnya ialah kekuatan dalam penggunaan tombak yang jauh lebih besar lantaran bisa dipakai dengan dua tangan secara maksimal. panjang batang tombak juga memperlihatkan area kontrol yang lebih baik serta momentum yang lebih berisi daripada pedang. tombak juga berkhasiat untuk menghalau musuh semoga tidak mendekat sehingga apabila dikehendaki suatu deretan bisa bertahan tanpa personilnya harus terjebak dalam duel perorangan.
Lalu apakah pedang betul-betul tidak digunakan?
Pada jaman itu pedang berperan sebagai senjata sumbangan langsung lantaran jarak jangkaunya yang begitu pendek. baik Katana ataupun Tachi gres dipakai dikala senjata lain sudah rusak (hilang) atau ada lawan yang berhasil mendekat sehingga tombak menjadi kurang berguna. pedang dinilai sebagai sebuah senjata darurat yang situasional, hanya dikala terdesak dan kegunaannya juga terbatas sehingga dalam pertempuran belum tentu digunakan.
![]() |
Samurai memakai banyak sekali macam senjata, dari crossbow mekanis hingga kerikil sekalipun |
Tidak hanya soal pedang yang bukan merupakan senjata utama ataupun senjata 1-1 nya bagi seorang Samurai, pada era yang sama mereka juga tidak mempunyai hukum baku perihal senjata yang boleh atau dilarang digunakan. segala jenis senjata dari crossbow hingga meriam eropa sah-sah saja dipakai oleh mereka tanpa harus aib atau kehilangan kehormatan. kultus terhadap pedang gres terjadi di era keshogunan Tokugawa sesudah peperangan berakhir.
Hal itupun lebih bersifat filosofis daripada praktis. disebabkan oleh masa tenang yang menciptakan para Samurai menganggur hasilnya mereka berusaha mencari jadi diri sebagai pembenaran atas kehadirannya sebagai atasan dari kelas sosial lainnya. muncullah arahan bushido yang menekankan pada kehormatan, kepatuhan, dan loyalitas yang membedakan mereka dari lapisan masyarakat lainnya. berujung pada tradisi seppuku atau harkiri daripada menanggung malu.
Pedang Katana menjadi simbol dari ajaran perihal kehormatan tersebut. padahal sebelum era Tokugawa melarikan diri dari perang saja lumrah dilakukan oleh Samurai apabila perang tidak sanggup dimenangkan. masih ada hari esok pikir mereka daripada mati konyol memaksakan perang yang sudah niscaya kalah. tipu tipu daya pun lumrah untuk dilakukan, boleh dibilang Samurai yang bekerjsama tidak terbelenggu oleh ajaran konyol semacam itu.