Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

DEMOKRASI DI INDONESIA



        Dalam sejarah ketenagakerjaan negara Republik Indonesia yang telah lebih dari setengah abad, perkembangn demokrasi mengalami fluktuasi (pasang surut). Masalah pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana upaya untuk meningkatkan kehidupan ekonomi dan membangun kehidupan sosial politik yang demokratis dalam masyarakat yang plural.

        Fluktusi demokrasi di Indonesia hakikatnya dapat dibagi dalam lima periode:
  1. Periode 1945-1949 dengan sistem Demokrasi Pancasila. Pada periode ini sistem pemerintahan Demokrasi Pancasila seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belum sepenuhnya dapat dilaksanakan karena negara dalam keadaan darurat dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Misalnya, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang semula berfungsi sebagai pembantu Presiden menjadi berubah fungsi sebagai MPR. Sistem kabinet yang seharusnya Presidensial dalam pelaksanaanya menjadi sistem Parlementer seperti yang berlaku dalam Demokrasi Liberal.
  2. Periode 1949-1959 dengan sistem Demokrasi Parlementer. Pada periode ini sangat menonjolkn peranan parlemen dan partai politik. Pada periode ini berlaku konstitusi RIS (1949-1950) dan UUDS 1950 (17 agustus 1950 - 5 Juli 1959). Pada masa ini pula, Indonesia dibagi dalam beberapa negara bagian. Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan Presiden hanya sebagai lambang. Selanjutnya, RIS ditolak oleh rakyat Indonesia, sehingga pada tanggal 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno menyatakan kembali ke Negara Kesatuan dengan menggunakan UUD sementara 1950. Kabinet pada sistem demokrasi parlementer ini selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar. Masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah berjalan selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem demokrasi parlemen tidak cocok di diterapkan di negara ini. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan  ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta merintangi pembangunan untuk mencapai masyarkat adil dan makmur, sehingga pada tanggal 5 juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dekrit mengenai pembubarn Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.
  3. Periode 1959 - 1965 dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Sistem demokrasi terpimpin merupakan sistem yang menyimpang dari konstitusional. Periode ini sering disebut dengan periode Orde Lama. Presiden Soekarno menjabat sebagai "Pemimpin Besar Revolusi". Dengan demikin pemusatan kekuasaan ada ditangan Presiden. Terjadinya pemusatan kekuasaan ditangan Presiden menimbulkan penyimpangan  dan penyelewengan terhadap pancasila dan UUD 1945 yang puncaknya terjadi perebutan kekuasaan oleh PKI pada tanggal 30 September 1965 (G30S/PKI) yang merupakan bencana nasional bagi indonesia.
  4. Periode 1965 - 1998 dengan Sistem Demokrasi Pancasila (Orde Baru). Demokerasi pancasila Orde Baru yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Periode ini dikenal dengan sebutan pemerintahan Orde Baru yang bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan Konsekuen. Secara tegas dilaksanakan sistem Demokrasi Pancasila dan dikembalikan fungsi lembaga tertinggi dan tinggi negara sesuai amanat UUD 1945. Dalam pelaksanaannya, sebagai akibat dari kekuasaan dan masa jabatan presiden yang tidak dibatasi Periodenya, maka kekuasaan menumpuk pada Presiden, sehingga terjadilah penyalahgunaan kekuasaan. Akibatnya adalah tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kebebasan berbicar dibatasi, Praktik demokrasi menjadi semu, dan Pancasila hanya sebagai alat legimitasi politik. Lembaga negara berfungsi sebagai alat kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, lahirlah gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa yang menuntut reformasi dalam berbagai bidang. Puncaknya adalah dengan pernyataan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden.
  5. Periode 1998 - sekarang dengan sistem Demokrasi Pancasila (Orde Reformasi). Demokrasi Pancasila Era Reformasi berakar pada kekuatan multi partai yang berupaya mengembalikan perimbangan kekuatan antar lembaga negara. Demokrasi yang dikembangkan pada masa reformsi ini adalah demokrasi dengan mendasarkan  pada Pancasila dan UUD 1945. Dengan penyempurnaan pelaksanaan dan perbaikan peraturan-peraturan yang dianggap tidak demokratis, meningkatkan peran lembaga-lembaga tinggi negara dengan menegaskan fungsi, wewenang, dan tanjung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan, dan tata hubungan yang jelas antara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Demokrasi pada periode ini telah dimulai dengan terbentuknya DPR - MPR hasil pemilu 1999 yang telah memilih presiden dan wakil presiden serta terbentuknya lembaga-lembaga tinggi lainnya. Dalam perkembangannya, pemerintahan fokus pada pembagian kekuasaan antara Presiden dan parpol dalam DPR, sehingga rakyat terabaikan.


Sumber Oleh : Buku "Pendidikan Kewarganegaraan (Untuk Perguruan Tinggi)
Karya : Budi Juliardi, S.H., M.Pd.