Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perjanjian Linggarjati Dan Diplomasi Kabinet Sjahrir

Penandatanganan Perjanjian Linggarjati yang dilakukan di Istana Merdeka Jakarta 15 November 1946 oleh Sutan Sjahrir (kiri), Prof Schermerhorn. Foto:Pinterest

- Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh akreditasi kedaulatan dari pemerintah Belanda melalui jalur diplomatik. Perjanjian ini melibatkan Indonesia dan Belanda, serta Inggris sebagai penengah. 

Tokoh-tokoh dalam negosiasi itu yaitu Letnan Jenderal Sir Philip Christison dari Inggris, seorang diplomat senior serta mantan duta besar Inggris di Uni Soviet, yang kemudian diangkat sebagai duta istimewa Inggris untuk Indonesia. Wakil dari  Belanda yaitu Dr. H.J. Van Mook. Indonesia diwakili Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Sjahrir.

Sebelumnya negosiasi Linggarjati sudah dilakukan beberapa kali negosiasi baik di Jakarta maupun di Belanda. namun usaha-usaha untuk mencapai kesepakatan belum memenuhi cita-cita baik bagi pihak Indonesia maupun bagi pihak Belanda. Usaha itu mengalami kegagalan sebab masing-masing pihak mempunyai pendapat yang berbeda. 

Belanda pada awalnya ingin mendorong Hindia Belanda menjadi pecahan dari persemakmuran Kerajaan Belanda. Namun situasi tamat Perang Dunia II yang mendorong proses dekolonisasi menciptakan Belanda hanya mempunyai dua pilihan, menolak dan tidak mengakui negeri jajahannya sebagai negara yang berdaulat atau mendapatkan serta mengakui kedaulatan Indonesia.

Van Mook merupakan orang Belanda yang lahir di Indonesia. Ia mendukung gerakan semoga Indonesia menjadi persemakmuran Kerajaan Belanda, atas dasar inilah ia kembali ke Indonesia. Pada  awal kehadirannya di Jakarta, Van Mook menerima tekanan baik dari Sekutu maupun bahaya perlawanan dari pihak revolusioner Indonesia. 

Pada awal itu Van Mook bersedia untuk melaksanakan perundingan, meskipun pemerintah Belanda melarangnya untuk bertemu dengan Sukarno. Pada 14 Oktober 1945, Van Mook bersedia bertemu dengan Sukarno dan “kelompok-kelompok Indonesia." 

Ia tidak mau menyebut sebagai Republik Indonesia, sebab pemerintah Belanda belum mengakui pemerintahan Republik Indonesia. Dalam pokok pikiran Van Mook menyatakan, bahwa NICA bersedia membangun hubungan ketatanegaraan yang gres dan status Indonesia menjadi “negara dominion” dalam komplotan “persemakmuran Uni-Belanda”.

Karena terjadi kebuntuan dalam negosiasi antara Pemerintah Belanda diwakili oleh Van Mook dan wakilnya, Charles  O. Van der Plas. Indonesia diwakili oleh Sukarno dan Moh. Hatta yang didampingi oleh H. Agus Salim dan Ahmad Subarjo maka akan diadakan pertemuan lanjutan. 

Pada minggu-minggu terakhir Oktober 1945, banyak sekali kejadian dan konfrontasi dengan semakin banyaknya tentara NICA yang tiba ke Indonesia. Konfrontasi itu menimbulkan pihak sekutu ingin segara mengakhiri tugasnya di Indonesia, terlebih ketika aksi-aksi kekerasan di kota besar di Indonesia, terutama pertempuran sengit di Surabaya. Pihak sekutu ingin segera meninggalkan Indonesia, tetap  tidak mungkin melepaskan tanggungjawab internasionalnya. Untuk itulah satu-satunya jalan untuk menuntaskan itu dengan melaksanakan perundingan.

Perundingan Awal di Jakarta

Pada tanggal I Oktober 1945, telah diadakan negosiasi antara Christison (Inggris) dengan pihak Republik Indonesia Dalam negosiasi ini Christison mengakui secara de facto terhadap Republik Indonesia Hal ini pula yang memperlancar gerak masuk Sekutu ke wilayah Indonesia. 

Kemudian, pihak pemerintah RI pada tanggal 1 November 1945 mengeluarkan maklumat politik. Isinya bahwa pernerintah RI menginginkan akreditasi terhadap negara dan pernerintah RI, baik oleh Inggris maupun Belanda sebagaimana yang dibuat sebelum Perang Dunia II. Pemerintah RI juga berjanji akan mengembalikan semua aset milik aneh atau memberi ganti rugi atas milik yang telah dikuasai oleh pernerintah RI.

Inggris yang ingin melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugas-tugasnya di Indonesia, mendorong semoga segera diadakan negosiasi antara Indonesia dan Belanda. Oleh sebab itu, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. 

Di bawah pengawasan dan perantaraan Clark Kerr, pada tanggaI 10 Februari 1946 diadakan negosiasi Indonesia dengan Belanda di Jakarta. Dalarn negosiasi ini Van Mook selaku wakil dari Belanda mengajukan usul-usul antara. lain sebagai berikut: 
  1. Indonesia akan dijadikan negara persemakmuran berbentuk federasi, mempunyai pemerintahan sendiri tetapi di dalarn lingkungan Kerajaan Nederland (Belanda).
  2. Masalah dalam negeri di urus oleh Indonesia, sedangkan urusan luar negeri ditangani oleh pernerintah Belanda.
  3. Sebelum dibuat persemakmuran, akan dibuat pemerintahan peralihan selama sepuluh tahun.
  4. Indonesia akan dimasukkan sebagai anggota PBB.
Pihak Indonesia belum menanggapi dan mengajukan usul-usul balasannya. Kebetulan situasi Kabinet Syahrir mengalami krisis, Persatuan Perjuangan (PP) pimpinan Tan Malaka melaksanakan oposisi. PP mendesak pada pemerintahan bahwa negosiasi hanya sanggup dilaksanakan atas dasar akreditasi seratus persen terhadap RI.

Ternyata dominan bunyi anggota KNIP menentang budi yang telah ditempuh oleh Syahrir. Oleh sebab itu, Kabinet Syahrir jatuh. Presiden Sukarno  kemudian menunjuknya kembali sebagai Perdana Menteri. Kabinet Syahrir II teribentuk pada tanggal 13 Maret 1946. 

Kabinet Syahrir II mengajukan permintaan tanggapan dari usul-usul Van Mook. Usul-usul Kabinet Syahrir II antara lain sebagai berikut:
  1. RI harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah Hindia Belanda.
  2. Federasi Indonesia Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu. Mengenai urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu tubuh federasi yang anggotanya terdiri atas orang-orang Indonesia
  3. Tentara Belanda segera ditarik kembali dari republik.
  4. Pemerintah Belanda harus-membantu pemerintah Indonesia untuk menjadi anggota PBB.
  5. Selama negosiasi sedang terjadi, semua agresi militer harus dihentikan.
Usulan Syahrir tersebut ternyata ditolak oleh Van Mook. Sebagi  jalan keluarnya Van Mook mengajukan permintaan wacana akreditasi republik Indonesia sebagai wakil Jawa untuk mengadakan kolaborasi dalam upaya pembentukan negara federal yang bebas dalam lingkungan Kerajaan Belanda. 

Pada tanggal 27 Maret 1946, Sutan Syahrir memperlihatkan jawaban disertai konsep persetujuan yang isi pokoknya antara lain sebagai berikut:
  1. Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa dan Sumatra.
  2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk RIS.
  3. RIS gotong royong dengan Nederland, Suriname, dan Curacao, menjadi penerima dalam ikatan kenegaraan Belanda.
Perundingan Hooge Valuwe

Perundingan dilanjutkan di negeri Belanda, di kota Hooge Veluwe bulan April 1946. Pokok pembicaraan dalam negosiasi itu yaitu memutus pembicaraan  yang dilakukan di Jakarta oleh Van Mook dan Syahrir. 

Sebagai penengah dalam perundingan, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Pada kesempatan itu Syahrir mengirim tiga orang delegasi dari Jakarta, yaitu Mr. W. Suwandi, dr. Sudarsono, dan A.K. Pringgodigdo. Mereka berangkat bersama Kerr pada 4 April 1946. 

Dari Belanda hadir lima orang yaitu Van Mook, J.H. van Royen. J.H.Logeman, Willem Drees, dan Dr. Schermerhorn. Perundingan tersebut untuk menuntaskan negosiasi yang tidak tuntas dikala di Jakarta.

Perundingan mengalami deadlock sejak hari pertama, sebab masing-masing pihak sudah  mempunyai cita-cita yang berbeda. Delegasi Indonesia berharap ada langkah konkret dalam upaya akreditasi kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Sementara pihak Belanda menganggap pertemuan di Hooge Valuwe itu hanya untuk sekedar pendahuluan saja. 

Pelaksanaan Perundingan Linggarjati

Kegagalan dalam negosiasi Hoge, pada April 1946, menimbulkan pemerintah Indonesia untuk beralih pada tindakan militer. Pemerintah Indonesia beropini perlu melaksanakan serangan umum di kedudukan Inggris dan Belanda yang berada di Jawa dan Sumatera. 

Namun genjatan senjata yang dilakukan dengan cara-cara usang dan gerilya tidak membawa perubahan yang berarti. Resiko yang dihadapi pemerintah semakin tinggi dengan  banyaknya korban yang berjatuhan. 

Untuk mencegah bertambahnya korban pada bulan Agustus sampai September 1946 direncanakan untuk menyusun konsep perang secara defensif. Bagi Sukarno, Hatta, dan Syahrir perlawan dengan taktik perang defentif itu lebih beresiko dibandingkan dengan cara-cara lama, sebab akan memakan korban lebih banyak lagi. Menurut mereka akreditasi kedaulatan Republik Indonesia lebih baik dilakukan dengan jalan diplomasi.

Pada awal November 1946, negosiasi diadakan di Indonesia, bertempat di Linggarjati. Pelaksanaan sidang-sidangnya berlangsung pada tanggal 11 - 15 November 1946. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir, anggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Sementara pihak Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn dengan beberapa anggota, yakni Van Mook, F de Boor, dan van Pool. 

Sebagai penengah dan pemimpin sidang yaitu Lord Killearn, juga ada saksi-saksi yakni Amir Syarifudin, dr. Leimena, dr. Sudarsono, dan Ali Budiarjo. Presiden Sukarno dan Wapres Moh. Hatta juga hadir di dalam negosiasi Linggarjati itu.

Dalam negosiasi itu dihasilkan kesepakatan yang terdiri dari 17 pasal. Isi pokok Perundingan Linggarjati antara  lain sebagai berikut:
  1. Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan secara de facto pemerintahan RI atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera. Daerah-daerah yang diduduki Sekutu atau Belanda secara berangsur-angsur akan dikembalikan kepada RI.
  2. Akan dibuat Negara Indonesia Serikat (NIS) yang mencakup seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia) sebagai negara berdaulat.
  3. Pemerintah Belanda dan RI akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh raja Belanda.
  4. Pembentukan NIS dan Uni Indonesia- Belanda diusahakan sudah selesai sebelum 1 Januari 1949.
  5. Pemerintah RI mengakui dan akan memulihkan serta melindungi hak milik asing.
  6. Pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk mengadakan pengurangan jumlah tentara.
  7. Bila terjadi perselisihan dalam melaksanakan negosiasi ini, akan menyerahkan masalahnya kepada Komisi Arbitrase.
Naskah persetujuan kemudian diparaf oleh kedua delegasi di Istana Rijswijk Jakarta (sekarang Istana Merdeka). Isi negosiasi itu harus disyahkan dahulu oleh tubuh legislatif masing-masing (indonesia oleh KNIP). 

Untuk  meratifikasi dan mensyahkan isi Perundingan Linggarjati, kedua tubuh legislatif masih enggan dan belum puas. Pada bulan Desember 1946, Presiden mengeluarkan Peraturan No. 6 wacana penambahan anggota KNIP

Hal ini dimaksudkan untuk memperbesar bunyi yang pro Perjanjian Linggarjati dalam KNIP. Tanggal 28 Februari 1947 Presiden melantik 232 anggota gres KNIP. Akhirnya isi Perundingan Linggarjati disahkan oleh KNIP pada tanggal 25 Maret 1947, yang lebih dikenal sebagai tanggal Persetujuan Linggarjati.

Rujukan:

Abdullah, Taufik dkk. 1978. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES
--------, dan A.B. Lapian. 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid 5 (Masa Pergerakan Kebangsaan). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
--------, dan A.B. Lapian. 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid 6 (Perang dan Revolusi). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.