Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masa Demokrasi Liberal Indonesia 1950-1959

Pada Masa Demokrasi Liberal, banyak partai politik ikut serta dalam perebutan Parlemen Indonesia. Hal ini yang menjadi faktor keributan politik pada kala ini. Foto: Sigi Blogger

Pasca kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Indonesia berusaha mencari sistem pemerintahan yang dirasakan sesuai dengan kehidupan berbangsa Indonesia. Pada dikala itu baik sebelum atau sehabis kemerdekaan, terdapat permintaan mengenai sistem negara yang dipergunakan, anatara lain: Federasi, Monarki, Republik-Parlementer, dan Republik-Presidensil.

Pada bulan Oktober 1945, Wapres Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wapres No.X bulan Oktober 1945, yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebelum terbentuknya MPR/DPR melaksanakan kiprah legisltif. Dengan demikian KNIP dari forum pembantu presiden menjadi forum yang sederajat dengan forum kepresidenan.

Kemudian KNIP yang dipimpin Sutan Sjahrir berhasil mendorong Pemerintah yaitu, Wapres Hatta untuk mengeluarkan Maklumat Pemerintah 13 Novermber 1945 perihal pendirian partai-partai politik dan Maklumat Pemerintah 14 Novermber 1945 perihal pemberlakuan Kabinet Parlementer. Dengan maklumat tersebut Indonesia menjalankan sistem parlementer dalam menjalankan pemerintahan. Presiden hanya sebagai kepala negara dan simbol, sedangkan urusan pemerintahan diserahkan kepada perdana menteri. Sjahrir terpilih menjadi Perdana Menteri Indonesia pertama.


Demokrasi Liberal

Setelah dibubarkannya RIS, semenjak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi parlementer-liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat dan masa ini disebut Masa Demokrasi Liberal. Indonesia sendiri pada tahun 1950an terbagi menjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang juga bernafaskan liberal.

Secara umum, demokrasi liberal yaitu salah satu bentuk sistem pemerintahan yang berkiblat pada demokrasi. Demokrasi liberal berarti demokrasi yang liberal. Liberal disini dalam artian perwakilan atau representatif.

Dengan pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada dewan legislatif (DPR). Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal mendorong untuk lahirnya banyak partai-partai politik dengan ragam ideologi dan tujuan politik.

Demokrasi Liberal sendiri berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam kenyataanya bahwa UUDS 1950 dengan sisten Demokrasi Liberal tidak cocok dan tidak sesuai dengan kehidupan politik bangsa Indonesia yang majemuk.

Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dekrit presiden mengenai pembubaran Dewan Konstituante dan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950 lantaran dianggap tidak cocok dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia.

Pelaksanaan Pemerintahan

Tahun 1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI dan Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam dewan perwakilan rakyat (Parlemen).  Dalam waktu lima tahun (1950 -1955) PNI dan Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik dalam empat kabinet yang pernah berlaku. Adapun susunan kabinetnya sebagai berikut;

1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Formasi Kabinet Natsir. Foto: Wikipedia
Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir dari Partai Masyumi sebagai perdana menteri. Kabinet Natsir merupakan koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi bersama dengan PNI. Kabinet ini mempunyai struktur yang terdiri dari tokoh – tokoh populer duduk di dalamnya, ibarat Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.

Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
  • Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
  • Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
  • Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
  • Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
  • Memperjuangkan penyelesaian kasus Irian Barat.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan kiprah utama yaitu proses integrasi Irian Barat. Akan tetapi, Kabinet Natsir kemudian mendapatkan hambatan yaitu pada masa kabinet ini terjadi banyak pemberontakan seperti: Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS).

Kabinet Natsit mempunyai keberhasilan dalam upaya negosiasi antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai kasus Irian Barat.

Dalam bidang ekonomi kabinet ini memperkenalkan sistem ekonomi Gerakan Benteng  yang direncanakan oleh Menteri Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo. Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
  • Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
  • Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
  • Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan derma kredit.
  • Para pengusaha pribumi diperlukan secara sedikit demi sedikit akan bermetamorfosis maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam aktivitas Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia mendapatkan derma kredit dari aktivitas ini.

Tujuan aktivitas ini sendiri tidak sanggup tercapai dengan baik meskipun anggaran yang digelontorkan pemerintah cukup besar. Kegagalan aktivitas ini disebabkan lantaran :
  • Para pengusaha pribumi tidak sanggup bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
  • Para pengusaha pribumi mempunyai mentalitas yang cenderung konsumtif.
  • Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
  • Para pengusaha kurang sanggup berdiri diatas kaki sendiri untuk berbagi usahanya.
  • Para pengusaha ingin cepat mendapatkan laba besar dan menikmati cara hidup mewah.
  • Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari laba secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Kabinet Natsir sendiri kemudian berakhir disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI di Parlemen Indonesia menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada dewan legislatif tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.


2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
Formasi Kabinet Sukiman. Foto: Pinterest
Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur, namun gagal, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951). Presiden Soekarno kemudian membuktikan Sidik Djojosukatro dari PNI dan Soekiman Wijosandjojo dari Masyumi sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi Masyumi-PNI. Kabinet ini populer dengan nama Kabinet Soekiman-Soewirjo.

Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
  1. Menjamin keamanan dan ketentraman
  2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui aturan agraria supaya sesuai dengan kepentingan petani.
  3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
  4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
  5. Menyiapkan undang – undang perihal akreditasi serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh.
Kabinet ini mengutamakan skala prioritas terhadap peningkatan keamanan dan ketentraman negara. RMS. dan lainnya. Akan tetapi kabinet ini kemudian mengalami sandungan setelah dewan legislatif mendengar bahwa kabinet ini menjalin kolaborasi dengan blok barat, yaitu Amerika Serikat.

Kabinet Sukiman ditenggarai melaksanakan Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian derma ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).

MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif Indonesia lantaran mendapatkan MSA sama saja dengan ikut serta dalam kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif lantaran lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.

Kabinet Sukiman sendiri mempunyai korelasi yang kurang serasi dengan militer dan kurang prograsif menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. Parlemen pada kesannya menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Sukiman. Sukiman kemudian harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.


Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Formasi Kabinet Wilopo. Foto: Wikipedia
Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua ahad berhasil dibuat kabinet gres di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga berjulukan Kabinet Wilopo. Kabinet ini menerima dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.

Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:
  1. Program dalam negeri
    1. Menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan Dewan Konstituante, DPR, dan DPRD 
    2. Meningkatkan kemakmuran rakyat, 
    3. Meningkatkan pendidikan rakyat, dan 
    4. Pemulihan stabilitas keamanan negara
  2. Program luar negeri: 
    1. Penyelesaian kasus korelasi Indonesia-Belanda,
    2. Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta 
    3. Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Dalam menjalankan tugasnya Kabinet Wilopo menghadapi krisis ekonomi, defisit kas negara, dan meningkatnya tensi gangguan keamanan yang disebabkan pergerakan gerakan sparatis yang progresif. Ketimpangan Jawa dan luar Jawa menciptakan terjadi gelombang ketidakpuasan di tempat yang memperparah kondisi politik nasional.

Kabinet Wilopo juga harus menghadapi konflik 17 Oktober 1952 yang menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai alat sipil dan munculnya kasus intern dalam Tentara Nasional Indonesia sendiri. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam usahanya memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan

Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai kasus tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli), Peristiwa Tanjung Morawa merupakan kejadian bentrokan antara pegawanegeri kepolisian dengan para petani liar yang di dukung PKI mengenai kasus tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Akibat kejadian Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.


Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
 banyak partai politik ikut serta dalam perebutan Parlemen Indonesia Masa Demokrasi Liberal Indonesia 1950-1959
Formasi Kabinet Ali Sastro I. Foto: Wikipedia
Kabinet Ali Sastroamidjojo yang terbentuk pada 31 Juli 1953 merupakan kabinet ke-empat yang dibuat selama Masa Demokrasi Liberal. Kabinet ini mendapatkan dukungan banyak partai di Parlemen, termasuk Partai Nahdlatul Ulama (NU). Kabinet ini diketuai oleh PM. Ali Sastroamijoyo dan Wakil PM. Mr. Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR).

Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I:
  1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran
  2. Menyelenggarakan Pemilu dengan segera
  3. Pembebasan Irian Barat secepatnya
  4. Pelaksanaan politik bebas-aktif
  5. Peninjauan kembali persetujuan KMB.
  6. Penyelesaian pertikaian politik.
Dalam menjalankan fungsinya, kabinet ini berhasil melaksanakan suatu prestasi yaitu:
  • Merampungkan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan 29 September 1955
  • Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955
Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 mempunyai efek dan arti penting bagi solidaritas dan usaha kemerdekaan bangsa-bangsa Asia- Afrika dan juga membawa jawaban yang lain, ibarat :
  • Berkurangnya ketegangan dunia
  • Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik diskriminasi ras di negaranya.
  • Indonesia mendapatkan dukungan diplomasi dari negara Asia-Afrika dalam usaha penyatuan Irian Barat di PBB
Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Sistem ekonomi Ali-baba diperuntukan menggalang kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba.

Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.

Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha non-pribumi diwajibkan untuk memperlihatkan latihan-latihan kepada pengusaha Indonesia. Sistem ekonomi ini kemudian didukung dengan :
  • Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha  swasta nasional 
  • Pemerintah memperlihatkan proteksi supaya pengusaha nasional bisa bersaing dengan pengusaha asing
Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha pribumi kesannya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.

Kabinet Ali ini juga sama ibarat kabinet terdahulu mengalami permasalahan mengatasi pemberontakan di tempat ibarat DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.

Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu kejadian yang memperlihatkan adanya kemelut dalam badan TNI-AD memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini keadaan ekonomi masih belum teratasi lantaran maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.

Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang menimbulkan NU menarik menteri-menterinya  pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet Ali Sastro I harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.


Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Sumpah Jabatan PM Burhanuddin Harahap. Foto: Pinterest
Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi.

Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
  1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
  2. Melaksanakan pemilihan umum berdasarkan planning yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya dewan legislatif baru
  3. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
  4. Perjuangan pengembalian Irian Barat
  5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Kabinet Burhanuddin Harap ini mencatatkan sejumlah keberhasilan dalam menjalankan fungsinya, seperti:
  1. Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu pada 29 September 1955 untuk menentukan anggota dewan perwakilan rakyat dan 15 Desember untuk menentukan Dewan Konstituante.
  2. Membubarkan Uni Indonesia-Belanda
  3. Menjalin korelasi yang serasi dengan Angkatan Darat
  4. Bersama dengan Polisi Militer melaksanakan penangkapan para pejabat tinggi yang terlibat korupsi
Pemilu yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di Parlemen yaitu, PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70 partai yang lolos seleksi.

Kabinet ini mengalami ganggung ketika kebijakan yang diambil berdampak pada banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Kabinet ini sendiri mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno ketika anggota Parlemen yang gres kurang memperlihatkan dukungan kepada kabinet.


Kabinet Ali Sastramojoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Formasi Kabinet Ali Sastro II. Foto: Pinterest
Pada tanggal 20 Maret 1956, didukung oleh tiga partai besar di Parlemen: PNI, NU, dan Masyumi. Ali Sastroamijoyo mendapatkan mandat untuk kedua kalinya membentuk kabinet.

Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II yaitu Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat aktivitas jangka panjang, sebagai berikut:
  1. Perjuangan pengembalian Irian Barat
  2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
  3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
  4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
  5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
  6. Pembatalan KMB
  7. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif
  8. Melaksanakan keputusan KAA.
Kabinet ini mendapatkan dukungan penuh dari Parlemen dan Presiden Soekarno, sehingga dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment. Kabinet ini berhasil melaksanakan penghapusan seluruh perjanjian KMB.

Pada masa kabinet ini muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan dan kekacauan di tempat yang semakin menguat, serta mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer di Sumater dan Sulawesi.

Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan menimbulkan krisis kepercayaan tempat luar Jawa dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam melaksanakan pembangunan. Pembatalan KMB menimbulkan kasus gres khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI menimbulkan mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi menciptakan kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.


Kabinet Djuanda (9 April 1957- 5 Juli 1959)
Djuanda Kartawidjaja bersama Presiden Soekarno. Foto: Pinterest
Kabinet gres kemudian dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian membentuk kabinet yang terdiri dari para menteri yang hebat dalam bidangnya. Kabinet ini dikenal dengan istilah Zaket Kabinet lantaran harus berisi unsur hebat dan golongan intelektual dan tidak adanya unsur partai politik di dalamnya.

Program pokok dari Kabinet Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:
  • Membentuk Dewan Nasional
  • Normalisasi keadaan RI
  • Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
  • Perjuangan pengembalian Irian Jaya
  • Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Presiden Soekarno juga pernah mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional ini sebagai langkah awal demokrasi terpimpin.

Pada masa kabinet Juanda, terjadi pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang menghambat korelasi antara pusat dan daerah. Untuk mengatasinya diadakanlah Musyawarah Nasional atau Munas di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56 tanggal 14 September 1957.

Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu kasus pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah Republik Indonesia. Munas selanjutnya dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan (munap) pada bulan November 1957.

Tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Cikini. Keadaan negara memburuk pasca percobaan pembunuhan tersebut, banyak tempat yang menentang kebijakan pemerintah pusat yang kemudian berakibat pada pemberontakan PRRI/Permesta.

Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan kedaulatan Indonesia dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 perihal perairan Indonesia. Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia bertambah luas hingga 13 mil yang sebelumnya hanya 9 mil.

Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh maritim di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai maritim di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal absurd boleh dengan bebas melayari maritim yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

Akhir Masa Demokrasi Liberal di Indonesia.

Kekacauan politik yang timbul lantaran pertikaian partai politik di Parlemen mengakibatkan sering jatuh bangunnya kabinet sehinggi menghambat pembangunan. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga Negara Indinesia tidak mempunyai pijakan aturan yang mantap. Kegagalan konstituante disebabkan lantaran masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Kegagalan konstituante disebabkan lantaran masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masalah utama yang dihadapi konstituante yaitu perihal penetapan dasar negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan-golongan dalam konstituante. Sekelompok partai menghendaki supaya Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai lainnya menghendaki agama Islam sebagai dasar negara.

Dalam situasi dan kondisi ibarat itu, beberapa partai politik mengajukan permintaan kepada Presiden Soekarno supaya mengambil kebijakan untuk mengatasi kemelut politik. Oleh lantaran itu pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut;
  1. Pembubaran Konstituante.
  2. Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945.
  3. Tidak berlakunya UUDS 1950.
  4. Pembentukan MPRS dan DPAS.
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan tidak diberlakukannya lagi UUDS 1950, maka secara otomatis sistem pemerintahan Demokrasi Liberal tidak berlaku lagi di Indonesia dan mulainya sistem Presidensil dengan Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.